Minggu ini, tidak hanya buku Negeri di Ujung Tanduk yang ku tamatkan. Aku juga menamatkan buku lain. Bukan buku fiksi kali ini, tapi buku non fiksi, jadi aku tidak cuma membaca buku khayalan aja. Ehe. Kalau biasanya aku membaca buku psikologi, kali ini ku pindahkan hati ke salah satu buku sejarah, yang juga merupakan genre bacaan favoritku. Tak jauh-jauh, buku yang ku baca adalah buku Biografi Muhammad, karangan Barnaby Rogerson.
Well, aku tidak begitu yakin kenapa waktu itu aku malah memilih membaca buku biografi nabi yang dikarang oleh non muslim. Mungkin karena aku ingin mencari tahu lebih jauh, bagaimana sih para non muslim memandang sosok nabi. Selain itu, ku baca review dari beberapa orang cukup bagus tentang buku itu. Intinya, asalkan isi buku biografi itu tidak menjelek-jelekkan nabi, maka aku akan senang hati membacanya, meski itu dari non muslim sekalipun.
Tapi tetap saja, aku mencoba untuk membentengi hati dan tidak memasukkan mentah-mentah semua cerita yang ku peroleh dari buku. Yang menurutku benar, ku terima, yang menurutku tidak sesuai dengan keyakinanku, ku abaikan.
Baiklah, kita mulai saja tentang review buku ini. Seperti kebanyakan buku sejarah nabi, cerita dimulai dengan bagaimana sejarah kehidupan masyarakat di padang pasir. Tentang suku-sukunya, tentang kehidupannya, tentang perekonomiannya, tentang seninya, dan tentu saja, tentang dewa-dewa yang disembahnya. Baru kemudian cerita masuk ke tentang lahirnya nabi Muhammad, pernikahan beliau dengan khadijah, penerimaan wahyu, berdakwah, hijrah, perang, penaklukan Makkah, sampai wafatnya beliau. Standar, huh? Tidak juga. Bahkan dari setiap cerita yang standar itu, yang aku yakin setiap orang mengetahui riwayat kehidupan beliau, tetap saja ada sisi menarik tiap kali membaca biografi Nabi yang ditulis oleh para penulis berbeda. Pasti ada saja satu dua pelajaran baru yang bisa ku ambil, termasuk dari buku ini.
Buku Biografi Muhammad ini ditulis dengan pendekatan yang cukup dekat, seakan pengarangnya berada di zamannnya secara langsung. Barnaby dengan apik menggambarkan bagaimana suasana pasar, bagaimana para orang arab berhaji sambil mabuk-mabukan, bagaimana suku badui berburu, lengkap dah. Untuk bagian semacam ini, aku cuma membaca sekilas lalu. Ehe. Selalu begitu. Bila ingin membaca biografi Nabi, pasti orang pertama-tama akan menceritakan latar belakang kehidupan masyarakat Arab. Padahal kan, aku ingin langsung membaca biografi Nabi, mulai kelahiran beliau. Ahaha. Dasar gak sabaran. Tapi tak apa lah. Meski ku membacanya ogah-ogahan, pada akhirnya selesai juga, hingga akhirnya aku bisa menamatkan cerita ini.
Ada beberapa hal yang ingin ku soroti dari buku ini. Pertama, tentang kekurangan buku ini. Well, ku bilang kekuranga, mungkin kurang cocok juga. Lebih tepatnya, ada beberapa bagian cerita dalam buku ini yang membuatku merasa kurang bersepakat. Misalnya saja, ada kalimat yang ‘menurutku’ agak merendahkan derajat Nabi, aku mencoba mengindahkan dan tidak memasukkannya ke dalam hati. Ada juga keterangan yang menjelaskan bahwa surah yang ke dua turun setelah Al-‘Alaq adalah Ad-Dhuha. Sedang selama ini ku di ajarkan bahwa surah yang kedua diwahyukan adalah Al-Mudatsir ayat 1-7. Banyak juga pendeskripsian yang menggambarkan seakan Nabi adalah orang yang lemah, ketakutan, bahkan malah berlindung di balik punggung para sahabat, rasanya kurang enak dibaca. Meski beban yang di tanggung Nabi cukup berat karena beliau adalah seorang Rasul, ku tetap merasa bahwa beliau adalah orang yang kuat, karena Allah selalu menyertai beliau.
Hal kedua yang ku soroti adalah, betapa banyaknya pelajaran baru yang ku dapatkan dari buku ini. Aku sadar, rasanya ku belum pernah membaca buku yang mengisahkan tentang biografi Nabi secara sungguh-sungguh, dan ini adalah buku pertama. Karenanya aku senang saat mendapati ada cerita baru tentang Nabi yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Misalnya, tentang bagaiman Nabi Muhammad sewaktu kecil belajar baik-baik bagaimana cara menggembala dan berdagang yang benar. Membaca cerita seperti itu membuatku tersadar bahwa beliau juga seorang manusia, namun manusia yang penuh kerja keras, bahkan saat beliau kecil sekalipun. Nabi Muhammad terlahir dari keluarga terhormat, itu benar. Tapi kehormatan saja tidak menjamin perut seseorang akan kenyang. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Nabi telah yatim piatu semenjak kecil. Sehingga sejak dari dini sudah diajarkan kepada beliau tentang apa itu arti kerja keras. Aku sungguh tergugah saat membaca dan memikirkan bagaimana kerasnya kehidupan Nabi di waktu kecil.
Kemudian, mungkin bagian yang paling kontroversial juga, mengenai mengapa Rasul memiliki banyak istri. Dikisahkan bahwa Rasul punya keistimewaan dengan boleh memiliki istri lebih dari empat, dan itulah yang kadang menjadi bahan olok-olokan para non muslim yang tidak menghormati Nabi. Tetapi Barnaby mempunyai pandangan lain. Sebagaimana kita tahu, Nabi tidak pernah mengambil istri lain sewaktu Khadijah masih hidup. Dengan kata lain, rasa cinta beliau pada Khadijah tidak bisa diragukan lagi, merupakan rasa cinta yang paling dalam. Barnaby mencoba menganalisis tentang kenapa Rasul memiliki banyak istri. Ada kemungkinan beliau mencoba mencari ‘pengganti’ dari Khadijah, mencoba mencari kembali rasa kasih sayang yang hilang itu. Well, itu mungkin saja. Barnaby juga berpendapat bahwa mengambil banyak istri mungkin adalah salah satu upaya Rasul untuk mendapatkan anak laki-laki, karena sebagaimana yang kita tahu, Rasul tidak memiliki anak laki-laki yang berumur panjang. Tapi, terlepas dari alasan apapun itu, Rasul memang pencita wanita. Yang ku maksud dengan pencinta wanita disini adalah, beliau sungguh menghargai wanita. Bila disuruh memilih, ku pikir beliau lebih mencintai wanita daripada harta.
Alasan yang paling sering kita terima tentang alasan Nabi berpoligami adalah demi menarik simpati banyak suku. Itu benar. Rasul biasanya mengambil istri dari salah satu suku atau kaum yang ditaklukkan, atau di ajak berislam sebagai langkah mengembangkan sayap dakwah Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa alasan Nabi beristri banyak adalah karena Nabi seorang pemimpin, yang kadang harus menghadapi banyak tamu dan sahabat. Disinilah para istri berperan sigap. Menyiapkan makanan, hidangan, tempat tinggal, dan lainnya bagi keperluan para sahabat dan tamu yang meminta bantuan pada beliau. Wallahu a’lam.
Ada lagi satu bagian yang baru ku temukan jawabannya di buku ini. Selama ini, aku bertanya-tanya. Kenapa waktu Nabi melakukan Fathul Makkah, tidak ada pihak Quraisy yang menghadang beliau. Apa karena beliau membawa pasukan banyak? Itu salah satu faktor. Tapi faktor lain juga adalah karena beliau adalah pemimpin yang berkharisma. Dari mana kharisma itu didapatkan? Sebagai seorang Rasul, jelas beliau memiliki kharisma. Tapi sebagai jenderal perang? Sebagai seorang pemimpin yang benar-benar menunjukkan taring kepemimpinannya, dari mana kharisma itu didapatkan?
Pertanyaan itu terjawab saat aku membaca buku ini. Dikisahkan dalam sebuah perang, Bani Quraizhah tertangkap dan menjadi tawanan, baik para pria dan wanita. Disinilah, Nabi melakukan sebuah keputusan besar. Selama ini, mungkin orang kafir menganggap Nabi akan memaafkan mereka bila mereka mengaku kalah dan tidak akan membunuh. Well, Nabi memang memaafkan, tapi mereka tidak mau memeluk islam, itu yang jadi masalah. Dalam peperangan, yang kalah dibantai, para wanita diperbudak, itu wajar. Maka Rasul pun berdisuksi dengan Sa’ad bin Muadz mengenai masalah itu. Sebagai seorang panglima, Sa’ad mengerti tanggung jawabnya. Tanpa ragu, ia menghukum mati para tawanan yang tidak mau memeluk Islam itu.
Kejadian itu membuat kafir Quraisy kaget, dan mulai gentar akan keberanian Nabi Muhammad. Disini beliau menunjukkan siapa diri beliau sebenarnya: seorang pemimpin sejati. Karenanya, saat peristiwa Fathul Makkah, tak ada satu pun yang berani melawan beliau. Meski begitu, sebagaimana janji beliau, yang beriman akan selamat. Sehingga ketika orang-orang Mekkah mengaku kalah dan beriman kepada Allah dan Rasulnya, tak adalah darah yang tertumpah di tanah suci itu. Wallahu a’lam.
Satu lagi, yang paling menarik, adalah kisah pertemuan Rasul dengan saudaranya. Aku benar-benar kaget waktu membaca Rasul mempunyai kakak, karena setahuku Rasul seorang anak tunggal, dan itu memang benar keadaannya. Meski begitu, ada seorang wanita yang mengaku kalau Rasul adalah adik beliau. Semua tentara muslim tidak ada yang percaya kalau beliau adalah kakak Rasul, dan menertawakannya. Tapi wanita itu bersikeras, sehingga akhirnya wanita itu dibawa kehadapan Rasul.
“Oh, Muhammad, aku adalah saudara perempuanmu,” kata wanita itu.
“Apa kau punya buktinya?” tanya Nabi.
Sebagai jawaban, wanita itu membuka lengannya dan memperlihatkan luka bekas gigitan. “Kau yang menggigitnya,” katanya, “ketika aku membawamu ke lembah Sarar untuk menggembala kambing.”
Seketika memori Rasul terbuka dan beliau terkenang kembali tentang masa kanak-kanaknya di Bani S’ad. Ya, wanita itu memang kakaknya, kakak sepersusuan dari wanita yang dulu merawat dan menyusuinya, Halimah. Nabi Muhammad berurai air mata saat teringat semua itu dan ia begitu senang bisa bertemu kembali dengan saudaranya yang lama tidak bertemu. Ah, serius, saat membaca cerita bagian ini, aku ikut-ikutan nangis. Benar-benar kisah reuni yang mengharukan. >_<
Bicara masalah menangis, bagian ketiga yang juga ingin ku soroti dari kisah ini adalah betapa banyaknya bagian cerita yang membuatku menangis. Ugh, kalo baca kisah perjuangan, apalagi perjuangan para Nabi, aku pasti bakal mudah menangis. Karenanya dari dulu aku tidak suka baca cerita sentimental, dijamin bakal sedih di tengah keramaian. Haha. Tapi kalo aku menangis karena membaca kisah sejarah Nabi, ku rasa gak bakal rugi. Lumayan, biar sekalian bisa introspeksi diri.
Bagian pertama yang membuat hatiku tertusuk-tusuk adalah dalam perjanjian Hudaibiyah. Saat Rasul menyetujui perjanjian yang kelihatannya sangat merugikan umat Islam itu, banyak para sahabat yang kecewa, termasuk Umar. Saat Nabi Muhammad memberikan perintah kepada kaum muslimin, tapi tidak ada satu pun yang bergerak menuruti beliau, lantaran masih kecewa. Beliau bahkan sampai mengulangi perintah beliau tiga kali, tapi tetap tidak ada yang menurut. Ah, membaca kisah itu benar-benar mengiris hatiku. Sedih, terenyuh, sakit pokoknya!
Bagian selanjutnya yang membuatku terharu adalah saat Fathul Makkah. Bahkan sebenarnya, setiap kali aku membaca cerita tentang Fathul Makkah, aku selalu menangis. Biar berkali-kali dibaca, aku tetap terharu. Bagian yang membuatku menangis adalah saat penduduk Mekkah ketakutan dengan kedatangan Nabi, namun Rasulullah dengan tenangnya mengatakan bahwa beliau telah mengampuni penduduk Mekkah. Serius, kejadian itu benar-benar mengharukan. Apalagi kalo ku ingat bagaimana dulu penduduk Mekkah memperlakukan beliau dan senantiasa ingin mencelakakan beliau, rasanya sungguh luar biasa sikap lapang dada yang beliau miliki. Ugh, sasuga, beliau memang manusia pilihan.
Bagian terakhir, yang pasti akan membuatku menangis, nangis yang tersedu-sedu pastinya, adalah saat Rasulullah wafat. Saat rasul mulai sakit, aku sudah memangis. Saat rasul membacakan pesan terakhir beliau di hadapan para muslimin, tangisanku makin deras. Dan terakhir, saat beliau wafat di pangkuan Aisyah, jadilah aku menangis terisak-isak di tengah malam. Ugh, rasanya benar-benar tak sanggup membayangkan bagaimana gambaran saat beliau meninggal. Terlalu menyedihkan hingga hatiku terasa sakit membacanya.
Sahabat Nabi, Umar, sampai mengamuk mendengar kabar beliau meninggal. Dia bersumpah akan memotong tangan dan kaki siapapun yang berani mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal. Ah, bisa ku mengerti bagaimana perasaan beliau. Setiap muslim dan sahabat di masa itu pasti syok dengan kabar wafatnya beliau.
Sahabat yang masih berpikir jernih kala itu cuma Abu Bakar. Beliau menenangkan para muslimin dengan mengatakan, “Hai kaum muslimin! Barangsiapa menyembah Muhamad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah, ketahuilah bahwa Allah hidup dan tidak pernah mati.” Mendengar pernyataan itu, Umar pun langsung lunglai. Ia sadar bahwa Rasul adalah manusia yang pasti akan meninggal, dan kini telah berada di tempat yang layak disisi-Nya.
Ah, benar-benar tidak rugi aku membaca buku ini. Ilmunya dapet, meski buku ini dikarang oleh non muslim. Membaca buku ini jadi membuatku teringat kembali tertang pertanyaan dosenku dulu, “Sudah berapa banyak buku biografi Rasulullah yang kalian baca?” Kala itu aku tidak bisa menjawab, karena aku belum pernah menamatkan satu pun buku biografi Rasul. Memang, pernah membaca biografi Nabi, tapi di buku pelajaran sekolah, atau mendengar ceritanya dari guru pengajian. Tapi sekarang ceritanya lain. Ada sudah buku biografi Rasulullah yang ku baca, walau cuma satu. Itu masih kurang jelas. Karenanya, aku harus menambah khasanah ilmu tentang biografi Rasul, tentang sejarah Islam, dengan semakin banyak membaca buku.
Insya Allah. :)
0 Comments