Minggu pagi, minggu yang penuh kemalasan. Bila ku berada di kost sendiri, bisa-bisa aku melalar jam sembilan pagi baru bangun (haha). Tapi berhubung aku ada di tempat orang, dan sudah ada janji juga mau rapat ama Ustadz Dedi, guru pembimbing bahasa kami, maka ku kuatkan diri untuk bangun, walo masih diselingi dengan sesekali rebahan dan melelapkan diri.
Tanpa mandi, hanya gosok gigi dan cuci muka serta modal percaya diri, aku pergi ke pertemuan. Jam sembilan lewat Ustadz Dedi datang. Awalnya, waktu mendengar kata Ustadz, ku pikir beliau akan datang dengan penampakan mengenakan baju koko, lengkap dengan peci putihnya. Ternyata dugaanku meleset jauh. Beliau datang dengan tas punggung besar berisi notebook, baju kaos bekas acara perkemahan pramuka, dan celana cowok yang ketat. Haha. Ustadz juga manusia.
Tujuan pertemuan hari ini adalah membahas tentang nasib english club tempat ku mengajar. Intinya, mau dibawa kemana para murid nantinya. Selama ini kami memang saat mengajar tidak ada persiapan berarti. Aku sendiri, satu hari sebelum mengajar, baru mulai kepikiran esok mau ngajar apa. Gkgk. Tapi berhubung kami sekarang mengajar di lembaga formal dengan tujuan yang tidak main-main, beliau ingin kami menyusun program semester dan program tahunan, serta materi apa yang akan kami ajarkan kelak.
Well, istilah seperti prota dan prosem tentu tidak asing lagi bagiku. Di kelas kami dapat materi semacam itu, karena kami semua kan dididik untuk menjadi calon guru. Meski begitu, aku merasa kalau untuk urusan praktek pembuatan, aku masih keteteran. Ya iyalah, kan belum jadi guru, jadi gak punya proker semacam itu.
Disinilah aku belajar banyak. Ustadz Dedi menjelaksan panjang lebar tentang apa saja yang mesti kami buat. Dalam pertemuan mendatang yang kira-kira tujuh kali lagi, kami diminta untuk menyusun materi apa saja kira-kira yang akan kam ajarkan. Aku dan Novi, temanku yang juga mengajar di English Club, kelabakan. Kami berbagi pendapat. Jangankan menetukan proker, nasib murid yang jumlahnya turun naik pun masih menjadi kendala. Belum lagi level kecerdasan murid yang berbeda-beda dalam kelas yang sama.
Akhirnya dibuat suatu keputusan. Novi mengajar SMP, aku mengajar SMA. Novi lebih fokus ke speaking, sedangkan aku fokus ke writing. Dua-duanya productive skill, memang itu yang ingin ditekankan. Karena SMA dianggap sudah dewasa dan kemampuan bicaranya dianggap sudah lumayan, maka aku diminta mengajar tingkat yang lebih atas lagi: yaitu writing.
Pikir pikir pikir, akhirnya ketemulah enam tujuh materi yang kira-kira cocok untuk ku ajarkan dalam tujuh pertemuan mendatang. Tapi itu sendiri masih berupa gambaran kasar saja. Selanjutnya, masing-masing kami diminta menyusun semua itu lebih baik lagi di rumah, lalu minggu depan, akan diserahkan kepada Ka Sasa untuk mengecek, yang nanti beliau recheck lagi ke Ustadz Dedi. Pertemuan selesai, kami bubar dan pulang.
*****
Semakin ke sini, aku jadi lebih sering berpikir, apa aku benar ingin jadi guru? Sejak dulu, rasa-rasanya aku sadar diri kalau aku tidak punya bakat ke situ. Mengambil kuliah jurusan TBI, yang ku pandang bukanlah Tadrisnya (pendidikannya), tapi Bahasa Inggrisnya. Aku ingin belajar Bahasa Inggris, itu saja, bukan jadi guru. Tapi entah mengapa, di Indonesia ini, hampir semua orang tua kepengen anaknya jadi PNS. Lalu, tipe PNS yang paling sering dikenal orang adalah guru, maka jadilah orang tua berbondong-bondong mendorong anaknya untuk jadi guru.
Mengajar itu relatif. Saat pertama kali mengajar di English Club, aku pikir mengajar itu gampang. Gampang disini dalam artian para muridnya mau mendengarkan apa yang ku jelaskan, sehingga aku bisa leluasa menerangkan materi, memberi banyak contoh, dan memastikan mereka benar-benar mengerti bahan pelajar. Tapi sekarang, saat ku mengajar di MTs Al-Ikhwan, seketika aku berpikir mengajar itu kegiatan yang menakutkan. Di sekolah ini aku mulai sadar, bahwa yang namanya seorang guru itu tidak hanya bertugas mentransfer ilmu, tapi benar-benar mendidik sampai ke akhlak dan keimanannya. Sejak saat itu aku berpikir kalau mengajar itu hal yang berat, dan aku tidak sanggup bila harus berhadapan lebih jauh dengan murid-murid ‘luar biasa’, seperti yang ku dapati di sekolahku sekarang.
Kalau disuruh mengajar juga, ku pikir memberikan les adalah kegiatan mengajar yang paling aman. Kita cuma perlu datang ketika ada jam les, selebihnya kita bisa melakukan apa yang kita mau, bahkan bekerja di bidang lain sekalipun. Bandingkan dengan jadi guru. Kita mesti selalu datang pagi walau cuma ada jam mengajar siang. Itu sudah jadi etika, dan kelak akan jadi pertimbangan besar dalam menentukan keberlangsungan lamanya kita mengajar di sekolah, terutama saat kita masih menjadi guru honorer. Sudah ku rasakan pengalaman itu, dan ku rasa pergi ke ‘tempat kerja’ tanpa ada kerjaan pasti itu sesuatu yang amat membosankan. Aku tak ingin berada di lingkungan kerja seperti itu.
Ah, kalau bisa, ku ingin bekerja lewat rumah saja. Dan sekarang aku sedang merintisnya, dengan ‘kerja’ sebagai blogger. Tentu ini belum bisa dibilang kerja, karena aku belum menghasilkan satu persen rupiah pun. Sekarang ngeblog hanya sebatas hobi, yang kelak ku harap bisa menjadi sesuatu yang memberikan hasil bagiku. Agak konyol kalau di mata orang kebanyakan memang, kerja lewat internet semacam ini. Tapi aku juga tahu, ada banyak teman blogger di luar sana yang telah berhasil. Karenanya, aku harap aku bisa menjadi satu di antara mereka, suatu hari nanti.
Untuk sekarang, ku coba dulu untuk menikmati suasana mengajarnya. Karena masa depan tak ada yang tahu. Sou deshou? ^__^
0 Comments