JSON Variables

Header Ads

Middle PPL 2 , Ketika Kemampuan Mengajar Kita Diperhatikan dan Dinilai Dosen

Hari ini, tidak seperti biasanya, adalah hari yang menegangkan sebelum ku mengajar. Biasanya memang, kalau ku mau mengajar murid-mird ‘luar biasa’ ku aku bakalan tegang, tapi hari ini tegangnya berbeda dari biasa. Kenapa? Alasannya simple, hari ini akan diadakan middle test PPL, dan dosen supervisorku akan datang dari kampus.

Sebenarnya, bukan cuma aku seorang yang middle. Teman satu kelompok yang juga berasal dari jurusan TBI, juga middle. Padahal juga, Bapak Sa’adillah, dosen supervisor kami, baiknya minta ampun sehingga untuk masalah nilai tidak perlu dicemaskan. Tapi yang membuatku amat tegang adalah karena aku yang dapat giliran duluan. Selain itu, aku juga mencemaskan kondisi kelas. Jangan-jangan para murid akan ribut seperti hari-hari biasa ku mengajar.

Sesampai di sekolah, ternyata Kiya udah stand by di meja piket. Ia bilang kalau ia juga tegang. Tapi rasa tegangnya lebih sedikit ketimbang diriku karena ia dapat giliran terakhir. Ngobrol-ngobrol, Kiya kemudian mengingatkanku satu hal penting, yaitu masalah konsumsi. Aku menepuk jidat. Aku lupa sama sekali masalah yang satu ini!

Kiya yang tertawa melihatku gelabakan berusahan menghiburku, kalau dia juga belum beli. Tapi dia berencana membeli ayam goreng di salah satu tempat yang dikenalnya. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk beli konsumsi disana juga. Akhirnya sekitar jam sembilan, kami putuskan untuk pergi mencari makan.

Tepat di depan gerbang sekolah, kami terperangah melihat kepala Bapak Sa’adillah yang muncul di balik kaca mobil beliau. Ya, ampun, beliau sudah datang! Padahal jadwal middle ku baru dimulai jam sepuluh kurang lima belas menit. Melihat kedatangan beliau, Kiya langsung tancap gas ke tempat kami membeli konsumsi, sambil juga menunjukkan keterkejutannya atas kedatangan Bapak yang cepat. Padahal awalnya aku berpikiran, nanti kalau tinggal setengah jam lagi jam mengajarku, akan ku sms beliau, ternyata beliaunya udah siap duluan.

Aku beli konsumsi dua: satu untuk Bapak Sa’adillah, supervisorku, satunya lagi untuk Ibu Rabiatul guru pamongku. Begitu pula dengan Kiya. Kami juga beli dua botol Aqua, untuk melengkapi konsumsi. Ku perhatikan dompetku yang isinya cuma satu lebar dua puluh ribuan, satu lebar sepuluh ribuan, dan satu lebar seribuan dengan raut wajah cemas. Si kasir menyebutkan harga pembelian. Aku tersenyum. Alhamdulillah, cukup!

Kiya kembali tancap gas kembali ke sekolah. Disana, kami dapat Bapak Sa’adillah tengah ngobrol dengan Bapak Kepala Sekolah. Aku bernafas lega. Lega karena kami tidak terlambat, dan lega karena Bapak Sa’adillah ada teman ngomong. Aku kembali melirik jam. Di menit-menit hitungan mundur ini, sekarang jantungku berdetak semakin kencang aja.

Lonceng masuk berbunyi. Aku segera masuk kelas setelah mempersilahkan guru pamong dan supervisorku. Alhamdulillah, kelas VIII B yang selama ini dikenal ribet tiba-tiba berubah adem ayem. Bahkan muric cowok yang jadi jagoan di kelas ini, yang biasanya selalu bolos tiap kali aku masuk kelas, juga ikut duduk anteng. Alasannya jelas. Pertama karena, ada orang asing bagi mereka, Bapak Sa’adillah. Kedua, karena Bu Atul memang meminta murid untuk segera duduk tenang.

Dalam waktu tiga puluh lima menit, aku bisa menjelaskan materi dengan suasana kondusif. Di putaran pertama, mereka duduk tenang mendengarkan. Di putaran kedua, saat diadakan game, kelas kembali ricuh. Tapi tak apa, itu juga poinnya. Mereka puter-puter cari teman, dan pada akhirnya, aku bisa menyelesaikan kelas dengan baik. Lima menit lagi lonceng ganti pelajaran berbunyi. Tapi berhubung materi yang ku ajarkan sudah habis, aku memutuskan undur diri dan sekarang giliran Uzi memasuki kelas.

Keluar dari kelas, perasaanku plong. Lega. Merdeka. Haha. Pokoknya sudah tidak ada beban lagi. Sudah bisa tertawa-tawa di depan Kiya sambil menceritakan bagaimana tadi situasi mengajar. Kelas yang selama ini ku anggap menakutkan, ku anggap paling susah di atur, ternyata aku bisa menghadapinya dengan baik. Alhamdulillah.

Ganti jam pelajaran, Uzi keluar, Kiya masuk. Harusnya Kiya mengajar jam ke-7, tapi dimajukan ke jam ke-6 agar Bapak Sa’adillah tidak lama menungg. Harusnya pula, Kiya mengajar di kelas VIII A. Tapi atas mandat kepala sekolah, akhirnya ia juga ikut-ikutan mengajar di kelas VIII B. Oke, no problem.

Ku tanya Uzi, gimana tadi suasana mengajar. Uzi geleng-geleng kepala, sambil bilang, “Kelasnya luar biasa ribut.” Haha. Aku tertawa. Ternyata bukan cuma aku seorang yang berpikiran demikian to. Pada dasarnya, kami tahu, hampir semua kelas susah diatur. Dari beberapa kelas yang dimasuki Uzi, ia selalu bilang kalau suasananya selalu ribut. Tapi baru pertama ini ia memasuki kelas yang ributnya luar biasa, yaitu kelas yang ku pegang. Gkgk. Akhirnya kau rasakan juga bagaimana perjuanganku selama ini.

Jam kembali berganti, Kiya keluar. Komentar Kiya juga sama: kelasnya sungguh susah diatur. Wkwk. Ya ampun, ku pikir cuma aku seorang selama ini yang mikir kalo kelas yang ku pegang sungguh luar biasa antiknya, ternyata bukan cuma aku saja. Kiya bahkan bilang kalau kelas VIII A suasananya lebih baik ketimbang VIII B. Uwoho. Tiba-tiba aku jadi kagum pada diri sendiri. Sanggup juga aku menghadapi murid-murid luar biasa seperti di kelas VIII B.

Sekarang aku lega. Udah middle PPL. Yang jadi pertanyaan sekarang tinggal Final. Tapi saat dikonfirmasi ke Bapak Sa’adillah, beliau bilang kau setelah ini beliau akan sibuk, sehingga nilai middle ini akan sekalian jadi nilai final. Kami bersorak menang. Tentu saja kami tidak keberatan!

Satu lagi masalah kami adalah, jumlah jam mengajar yang masih kurang. Kami diharuskan mengajar sebanyak empat belas kali, tetapi sampai sekarang aku baru mengajar delapan kali. Dalam seminggu, aku cuma mengajar dua kali. Bila dihitung-hitung sampai pertemuan terakhir, paling-paling cuma bisa tercukupi sebanyak sepuluh pertemuan. untungnya, kami punya solusi. Mahasiswi UNISKA yang juga PPL disini, sebentar lagi akan selesai. Sehingga kelas yang mereka pegang bisa kami ambil. Yuhu, masalah terselesaikan. Semoga sempat sebanyak empat belas kali sampai akhir masa PPL.

Ah, tidak terasa tinggal satu bulan lagi kami PPL. Waktu berjalan begitu cepat. Setelah ini, aku masih harus dihadapkan dengan KKN (dan skripsi juga). Moga-moga kuliahku bisa lancar sampai kaputing. Amiin.

Post a Comment

0 Comments