Di bawah pohon Mahoni, seorang cowok berseragam putih abu-abu tengah terbaring mencoba berlindung dari cahaya mentari musim panas yang cukup menyilaukan.
Wajahnya tertutup sebuah buku tebal. Tubuhnya tidak bergerak, aku tak bisa memastikan apakah ia tengah tidur atau tidak.
Saat ku menyampaikan ideku tentang menembak Kamiki, Maria dan Mirai menentangnya sekerang mungkin. Dengan yakin mereka mengatakan bahwa Kamiki akan menolakku, namun bukan berarti itu bisa menjadi bukti bahwa Kamiki adalah seorang homo.
Kesimpulannya adalah: Aku pasti akan ditolak, namun Kamiki tetap bukan seorang homo.
Aku tak pernah menembak cowok sebelumnya, karena aku memang tak pernah tertarik dengan urusan asmara. Atau bisa dibilang sampai sekarang memang tidak ada cowok yang menarik perhatianku. Menyadari hal itu, Mirai dan Maria mengatakan bahwa level cowok yang akan ku tempak sekarang terlalu tinggi untuk cewek pemula semacam diriku.
Hmph, aku tidak peduli, toh bukan berarti aku memang ingin berkencan dengannya.
Setelah ku menyelesaikan makan siangku, tanpa babibu aku segera menuju kelas 2A, kelas dimana Kamiki berada berdasarkan informasi yang ku dapat dari Mirai. Tanpa canggung ku bertanya dimana Kamiki sekarang. Seorang cowok menjawab bahwa di saat seperti ini biasanya Kamiki ada di halaman belakang bersama Takeru. Aku mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.
Sempat ku dengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa ku mungkin ingin menembak Kamiki. Itu benar. Beberapa juga bilang aku benar-benar punya nyali besar untuk berani menembak Kamiki dengan wajah polos seperti itu.
Tunggu, wajah polos seperti apa? Aku punya dua mata, satu mulut, satu hidung, dua telinga. Ku rasa tak ada yang salah dengan tampangku.
Setelah memastikan tak ada yang salah dengan tampangku, segera ku pergi menuju halaman belakang. Mirai dan Maria yang pada awalnya memaksa untuk ikut ku suruh untuk menunggu di dalam kelas sambil berdoa. Aku sendiri tak tahu doa macam apa yang mereka panjatkan. Doa agar aku ditolak Kamiki? Atau doa agar Kamiki menerimaku? Sepertinya tidak mungkin. Setidaknya mungkin mereka berdoa agar aku bisa kembali dengan selamat.
Halaman belakang sekolah terlihat sepi. Itu menguntungkanku. Aku tak tahu yang mana yang namanya Kamiki. Bila ada terlalu banyak orang disini, akan merepotkan bila ku mesti menanyai nama mereka satu persatu untuk memastikan bahwa orang yang ku cari memang dia.
Tepat di bawah pohon Mahoni yang menghijau, ku dapati sesosok tubuh yang tengah terbaring tanpa beban. Kemungkinan besar itu adalah Kamiki. Tapi bila yang dikatakan teman sekelasnya memang benar, seharusnya ada dua sosok yang ku dapati, Takeru dan Kamiki.
Tunggu, jangan-jangan sosok yang ada dihadapanku adalah Takeru?
Tanpa segan ku sepak kaki cowok tersebut dengan gerakan sedikit keras. Cowok itu mengaduh, lalu mengangkat buku yang sedari tadi menutup wajahnya. Aku memandanginya lamat-lamat. Rambutnya berwarna kemerah-merahan, alisnya yang tebal membuat tatapan sepasang matanya semakin tajam. Di telinga kirinya terpasang sebuah anting. Sementara di lehernya, sebuah kalung terlihat samar-samar dibalik seragam putihnya.
Tidak salah lagi, dia Kamiki.
“Woy, apa yang kau lakukan?”
Cowok itu terlihat menggaruk-garuk kepalanya sambil menatapku sedikit kesal. Sepertinya dia baru bangun tidur, sehingga kepalanya masih agak pening. Matanya menyipit, mencoba menatapku seksama. Dia pikir mungkin aku salah satu cewek yang di kenalnya, namun seberapa keras ia mengingat, aku tak akan ada ada dalam database memorinya.
Yeah, setidaknya tidak hingga sekarang.
“Apa kau Kamiki?” tanyaku tanpa basa-basi.
Kamiki terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia kembali menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sepertinya ia mulai bisa menebak apa maksud kedatanganku ke sini.
“Kenapa? Apa kau ingin menembakku?” ucapnya kemudian.
Aku tersentak. Kaget. Kaget bukan karena dia tahu apa maksud kedatanganku kesini, tapi karena dia bisa bicara menohok semacam itu. Bahkan bila memang ia tahu, seharusnya ia tidak mengucapkan hal seperti itu secara langsung di hadapan gadis yang akan menembaknya. Bisa-bisa cewek itu bakal kehilangan keberanian sebelum bicara. Masih untung aku bukan cewek yang benar-benar serius ingin mengajaknya berkencan. Tapi kalau ia melakukan hal itu kepada Mirai? Tak akan bisa ku maafkan.
Cowok ini, sepertinya tipe cowok yang menganggap hebat dirinya sendiri.
Aku mengangguk, lalu tersenyum. “Benar. Kau tahu dengan jelas sepertinya.”
Kamiki kembali memandangku lamat-lamat, sepertinya berusaha membaca apa yang ada dipikiranku. Untuk tipe cewek yang ingin menembak cowok, sepertinya pembawaanku terlalu tenang, seakan punya rasa kepercayaan diri yang terlalu tinggi bahwa aku akan diterima.
Hmph, menarik, guman Kamiki.
“Berkencalah denganku.”
....
Kamiki memandangku lekat, aku juga balik menatapnya di balik kacamataku. Sekitar satu menit kemudian tercipta keheningan di antara kami berdua. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran cowok itu, apa yang sedang dipikirkannya sekarang? Kenapa dia tidak segera memberi jawaban?
Sementara Kamiki, masih terus berusaha mencoba mengetahui isi pikiranku. Memang benar, seperti yang ia perkirakan, aku menembaknya. Tapi nada menembak yang sedatar itu, apa benar cewek yang ada dihadapannya sekarang serius mengajaknya berkencan? Dengan gaya setengah hati semacam itu? Apa tidak salah?
Aku melirik ke arah jam tanganku. Sedikit gelisah. Apa yang dipikirkan cowok ini sebenarnya sampai mesti mengulur waktu segala atas jawaban yang sudah pasti semacam ini?
“Hei, bisakah kau memberiku jawaban sekarang? Sebentar lagi lonceng masuk berbunyi,” ucapku akhirnya memecah keheningan.
“Hah?”
Kamiki mengernyitkan alisnya, bingung. Saat-saat menunggu jawaban semacam ini, bagi cewek normal kebanyakan adalah saat mendebarkan dimana waktu berjalan terasa begitu lambat. Saat penembakan semacam ini, dunia harusnya terasa hanya milik dia dan cowok yang ditembaknya.
Bagaimana mungkin cewek ini masih sempat-sempatnya memikirkan lonceng masuk?
“Well,” aku membetulkan letak kacamataku. “Tapi ku rasa kau tak perlu menjawab secara langsung. Aku tahu jawabanmu. Kau menolakku, kan?”
“Hah?”
“Jadi, apa yang kau tunggu lagi? Cepat tolak aku agar aku bisa membuat pengumuman bahwa kau seorang homo.”
“HAH?!”
Sontak Kamiki berdiri. Ia menatapku dengan tatapan terkejut. Sepertinya ia tak mengerti apa yang barusan ku katakan.
Tolak? homo? Apa hubungannya?
“Hei, apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tak sabaran.
“Seperti yang kau dengar,” jawabku santai. “Ku bilang pada teman-temanku mungkin selama ini kau tak punya pacar karena kau seorang homo.”
“Hah? Atas dasar ap..”
“Karenanya ku bertaruh, bila kau menolakku, itu adalah bukti bahwa kau adalah seorang homo.”
“Woy!”
Kamiki meninggikan suaranya. Ditatapnya wajahku dengan perasaan kesal. Aku mematung. Baru kali ini aku diteriaki seorang cowok. Tapi aku tak mau membuang muka dan mengalihkan pandang. Itu sama saja dengan mengaku kalah.
Kamiki menyandarkan tubuhnya ke pohon yang ada di belakang badannya, lalu terkekeh tak jelas. Begitu rupanya. Ternyata perasaannya yang mengatakan bahwa ada yang aneh dengan gadis ini benar adanya. Seperti dugaannya, cewek ini memang tidak serius. Tapi yang cukup mengejutkan adalah dirinya dijadikan bahwan taruhan di antara para cewek.
Jadi bahan rebutan, itu bukan hal yang buruk. Tapi jadi bahan taruhan?
Kamiki menatapku tajam. “Jadi begitu. Bila ku menolak, maka kau akan buat pengumuman bahwa kau adalah homo. Heh! Hanya atas dasar semacam itu ku rasa tak akan banyak orang yang percaya dengan asumsi konyol itu. Ucapanmu barusan hanya omong kosong belakang,” gertak Kamiki.
“Itu benar,” jawabku dengan nada sedikit bergetar, mencoba untuk tenang. “Tapi bila ku menggabungkan fakta tentang banyaknya gadis yang selama ini kau tolak, dengan fakta bahwa kau selalu bersama-sama dengan Takeru, maka sisanya akan kita biarkan orang lain menjalankan fantasi liarnya. Ku rasa kau mengerti maksudku, kan?” aku tersenyum licik.
Kamiki terdiam. Cewek ini... benar-benar membuatnya kesal!
“Jadi pada akhirnya aku tak punya pilihan untuk menerimamu, begitu?”
Aku menggeleng. “Tidak juga. Kau boleh menolakku kalau kau mau, seperti yang selama ini kau lakukan pada berpuluh cewek lainnya.”
Kamiki berjalan mendekatiku perlahan, lalu berhenti dengan jarak cukup dekat denganku. Dipegangnya daguku sehingga wajahku mendongak sedikit. Aku tak mau kalah. Ku menengadah menatap wajahnya, ia juga balik menatapku tajam.
“Hoho... begitu rupanya. Kau mengatakan semua alasan itu, tapi pada akhirnya yang ingin kau lakukan adalah menjadi pacarku. Hanya caranya saja yang kau buat sedikit berbeda agar aku tertarik padamu. Hmph, curang sekali.”
Aku terdiam, menatap wajah tampannya yang ku rasa lebih curang dari segala macam kecurangan yang ada di dunia.
“Bukan begitu,” ucapku datar, lalu mengalihkan tangannya dari ujung daguku.
“Aku melakukan ini untuk memastikan bahwa sahabatku tidak menjadi korban patah hati selanjutnya karena menyatakan perasaan padamu. Aku tak ingin temanku melakukan hal yang sia-sia dengan menembakmu karena jawabannya sudah pasti kau tolak.”
Kamiki terdiam, kembali menatapku lamat-lamat untuk mencari bukti bahwa apa yang ku katakan barusan adalah kebenaran.
Aku memperhatikan jam tanganku sekali lagi. “Aku harus pergi. Sudah benar-benar hampir lonceng masuk.”
Aku segera berbalik dan melangkah, namun segera terhenti. Aku kembali berpaling memandang Kamiki yang masih mematung di tempatnya.
Ada hal paling penting yang masih belum ku temukan jawabannya
“Jadi, apa jawabanmu atas penembakanku barusan?”
Kamiki menatapku sambil berpikir, mungkin tengah mencoba mencari kata-kata yang tepat agar ia tidak dicap sebagai seorang homo.
“Menurutmu, apa jawaban yang akan ku berikan?”
Aku terdiam, lalu tersenyum.
Ku menggelengkan kepalaku sambil mengangkat bahu.
“Mana ku tahu?” ucapku asal seraya melanjutkan perjalanan.
Kamiki melihatku berjalan pergi sampai punggungku menghilang di balik gedung sekolah. Seiring kepergianku, seorang cowok berjalan mendekat ke arah Kamiki. Takeru, cowok itu, memperhatikan Kamiki yang tengah senyum-senyum dengan tatapan heran.
“Kenapa? Apa kau mimpimu waktu tidur barusan cukup menarik?” tanya Takeru asal. Sebentar lagi lonceng masuk berbunyi. Takeru berniat membangunkan Kamiki, tapi tak disangkanya cowok itu sudah bangun terlebih dahulu.
“Yah, begitulah,” jawab Kamiki dengan nada penuh tanya. Diambilnya buku yang sedari tadi tergeletak di bawah pohon.
“Ku rasa aku menemukan sesuatu yang menarik.”
0 Comments