JSON Variables

Header Ads

[Light Novel] Game Over Chapter 3

Hidup ini penuh dengan hal-hal hebat yang ingin dimiliki setiap orang.
Itu tak hanya berlaku untuk benda, tapi juga untuk seseorang. Aku, Kamiki, entah sejak kapan aku tak bisa mengingat lagi, selalu jadi bahan rebutan para gadis di sekitarku. Meski begitu aku ingat, seorang cewek pertama kali mengutarakan perasaannya padaku saat ku masih duduk di taman kanak-kanak. Aku yang kala itu masih tak mengerti tentang arti cinta dengan polosnya menolak gadis itu hingga membuatnya menangis. Namun aku tak merasa apa yang ku lakukan adalah hal yang salah.
Ya, menolak seorang cewek bukanlah hal yang salah. Bila seorang cewek punya hak untuk menembakku, maka aku juga punya hak untuk menolak, kan?
Hal itu terjadi terus hingga ku duduk di bangku SMA sekarang. Berpuluh gadis telah berusaha mengungkapkan perasaannya kepadaku, dan seperti biasa, aku menolak mereka semua tanpa pikir panjang.
Mereka menangis. Tapi anehnya hal itu tak membuat popularitasku menurun.
Ya, saat bercermin, ku akui bahwa wajahku memang tampan. Aku sendiri bukan orang kaya dan setiap harinya harus kerja sambilan untuk mencukup biaya kehidupanku. Otakku juga ku rasa biasa-biasa saja. Selama SMA aku selalu berada di peringkat dua puluh besar, tapi tak pernah sekali pun berhasil masuk ke sepuluh besar. Sikapku juga, ku pikir tidak begitu ramah. Bisa ku simpulkan, aku cuma memang di tampang.
Jadi, kenapa aku bisa begitu populer?
Cewek itu aneh. Sepertinya semakin sadis seorang cowok, semakin besar pesona cowok tersebut di mata mereka. Sepertinya cowok dengan tipe S lebih disenangi ketimbang tipe M. Hmph, ku rasa aku bukan tipe cowok S, entahlah, yang jelas aku bukan tipe M. Ah, tapi bukan itu yang jadi masalahnya. Yang jelas meski aku sudah membuat berpuluh cewek menangis, mereka tak membenciku selama sekali. Malah jumlah orang yang menyukaiku seperti bertambah banyak semakin harinya. Aneh, kan?
Ya, popularitas itu aneh. Dan yang semakin aneh lagi, aku tak membenci hal semacam itu.
Bukan aku berniat untuk menjadi cowok dingin yang berniat membuat rekor menolak cewek terbanyak, tapi memang pada dasarnya tak ada satu pun yang menarik perhatianku. Aku tak percaya pada cinta pada pandangan pertama, tapi di lubuk hati terdalam, ku rasa ku ingin merasakannya.
Mungkinkah itu? Bisa jatuh cinta saja sudah syukur rasanya.
Tapi semua itu tidak jadi masalah. Sekarang aku memang tidak begitu peduli dengan hal sentimental semacam itu. Saat ini aku ingin fokus menambah uang jajan untuk membeli teleskop yang dari dulu sudah ku gadang-gadang. Aku tak punya waktu memikirkan asmara. Lagipula, kalau memang saatnya tiba, gadis yang ku suka mungkin akan muncul di hadapanku.
Ya, bila saatnya tiba.
“Berkencanlah denganku.”
Seorang gadis yang namanya bahkan tak ku kenal dengan santainya mengganggu tidur siangku dan dengan nada datar mengajakku untuk berkencan. Aku menatap gadis yang ada di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Cewek ini, serius mau mengajakku berkencan dengan gaya bicara tanpa ekspresi semacam itu?
“Bila kau menolakku, berarti kau seorang homo.”
Hah? Kesimpulan macam apa itu? Bagaimana bisa pernyataan penolakan dari seseorang malah diartikan bahwa cowok itu, dalam kasus ini adalah diriku, seorang homo? Bahkan sekalipun aku selalu terlihat bersama-sama dengan Takeru, bukan berarti aku menjalin hubungan terlarang dengannya. Sorry, I do not swing that way. Lagipula aku tahu bahwa Takeru punya pacar dari sekolah lain. Heh, cewek ini sepertinya tengah mencoba menarik perhatianku dengan cara tak wajar.
“Bukan begitu. Aku melakukan ini untuk memastikan bahwa sahabatku tidak menjadi korban patah hati selanjutnya karena menyatakan perasaan padamu.”
Aku menatap matanya lekat-lekat, mencoba mencari kejujuran dari sepasang bola mata yang ada di balik kacamata minusnya. Sayangnya aku bukan tipe orang yang bisa membaca pikiran seseorang, sehingga aku tak bisa mengetahui dengan jelas apakah ia berbohong atau tidak.
Apakah ia menyukaiku? Apakah ia mempermainkanku?
Belum lagi aku memberikan komentar, cewek itu sudah terburu-buru pergi dengan beralasan bahwa lonceng masuk akan segera berbunyi. Tunggu, cewek ini sepertinya benar-benar tidak serius. Ya, dia memang tidak serius saat menyatakan perasaannya padaku. Tapi saat dia bilang bahwa dia melakukan ini semua demi sahabatnya, apakah dia serius?
Aku tak tahu.
“Apa jawabanmu atas penembakanku barusan?”
Herannya aku tak bisa memberikan jawaban pasti saat ia menanyakan pertanyaan itu sekali lagi. Untuk pertama kalinya tiba-tiba aku ragu untuk menolak seorang cewek. Tentu saja, bukan karena aku tak ingin dicap sebagai seorang homo, tapi karena aku berpikir, bila ku menolaknya, apakah aku tak akan bisa lagi berurusan dengannya? Dengan gadis yang namanya bahkan tak ku kenal itu?
Untungnya dia tak ngotot menuntut jawaban langsung dariku dan berlalu pergi membiarkan urusan penembakan ini berakhir menggantung. Aku tak memberi jawaban pasti, menerima atau menolaknya. Dan aku sendiri tak tahu apa yang ada dipikirannya, menurutnya aku menerimanya atau menolaknya. Ya, aku tak tahu.
Tapi anehnya aku lega karena tak memberikan jawaban langsung. Tiba-tiba saja terbersit harapan di benakku agar ku bisa kembali bertemu dengan gadis itu. Yah, aku memang tak tahu siapa gadis itu. Tapi satu hal yang pasti adalah, dia murid sekolah ini.
“Takeru, apa tadi kau berpapasan dengan seorang gadis berkacamata saat dalam perjalanan kemari?” tanyaku seraya mengambil sebotol Cola dingin yang ada di tangannya.
Takeru berpikir sejenak, lalu mengangguk lambat-lambat. “Entahlah. Aku tak yakin. Mungkin iya, mungkin tidak,” jawabnya asal. Ia kembali memasang tampang berpikir.
“Ah!” sesuatu tiba-tiba terlintas di benaknya.
“Tapi bila yang kau maksudkan adalah Nao, yeah, tadi aku berpapasan dengannya di koridor meski sepertinya ia tak melihatku.”
Aku manggut-manggut.
“Heeeh, nama cewek itu Nao rupanya,” aku tersenyum penuh arti.
Baiklah, permainan kita mulai!

Post a Comment

0 Comments