Nao mulai pusing mendengar bisikan dan merasakan senggolan Maria dan Mirai semenjak lonceng masuk barusan. Sedari tadi mereka berdua grasak-grusuk karena penasaran tentang bagaimana jalannya proses penembakan yang Nao lakukan. Lancarkan? Di terima kah? Di tolakkan? Homo kah?
Nao tetap diam seribu bahasa. Alasannya jelas: Kamiki sendiri tak memberikan jawaban pasti padanya.
Saat lonceng pulang berbunyi, Maria dan Mirai akhirnya tak bisa menahan rasa sabarnya lagi. Mereka berdua segera menyeret Nao untuk interogasi lebih lanjut.
“Aku menembaknya,” ucap Nao akhirnya. “Tapi Kamiki tidak memberikan jawaban pasti,” jelas Nao jujur.
“Apa maksudmu dengan tidak memberikan jawaban pasti?” desak Maria lebih jauh.
Nao mengangkat bahu seraya berjalan melewati zebra cross. “Dia bilang hal yang aneh seperti... yah, dia bilang bagaimana pendapatku sendiri tentang apa jawabannya.”
Mirai mulai pusing mendengar penjelasan Nao yang berputar-putar. Segera diseretnya kedua sahabatnya itu untuk mampir ke kafe terdekat yang ada di sekitar mereka.
“Seperti yang ku bilang...” Nao mencoba menjelaskan sekali lagi runtutan ceritanya pada kedua sahabatnya itu saat mereka sudah duduk tenang dengan segelas cappucino di depan mereka. “Kamiki tidak memberikan jawaban pasti tentang penembakanku barusan. Yeah, ini mengecewakan, tapi ku rasa aku belum bisa membuktikan bahwa cowok itu memang homo.”
Mirai menjewer telinga Nao. Nao cuek seraya menyeruput cappucinonya.
Maria memasang tampang berpikir. “Hm, tapi kalau ku pikir-pikir, itu merupakan peningkatan hebat. Maksudku, selama ini dia selalu menolak cewek, tapi kau malah digantungnya. Bukankah itu hebat? Bukankah itu berarti kau ada harapan?”
“Eh, Nao, kau menyukainya?”
Nao menggeleng santai. “Bukan begitu. Ku rasa dia menggantungku karena ku mengaku jujur bahwa bila ia menolakku, berarti dia homo.”
“Wah, parah sekali kau, Nao!”
“Tentu saja dia tak akan menolakmu kalau begitu!”
“Pokoknya,” potong Nao cepat. Diarahkannya pandangannya ke arah Mirai.
“Mirai, ku rasa kau harus berhenti mengagumi cowok yang satu itu. Aku sudah bertemu dengannya, dan ku rasa kau berhak mendapatkan cowok yang lebih baik darinya,” ucapnya, kali ini serius.
Mirai balik menatap Nao penuh tanya.
“Kenapa? Apakah setelah bertemu dengannya, menurutmu dia cowok yang buruk dan tak cocok denganku?”
Nao terdiam sejenak, tak langsung menjawab. Ia menghela nafas dalam.
“Yang jelas ku rasa Numata lebih baik darinya.”
Mirai protes, Nao tidak mendengarkan. Sebenarnya ada hal tentang Kamiki yang tidak ingin ia ceritakan pada kedua sahabatnya. Kala itu, saat cowok itu bertanya secara lugas apakah Nao datang menemuinya untuk menembaknya, Nao bisa menarik kesimpulan bahwa cowok ini hanya suka main-main. Dia tidak ada niatan untuk serius dengan seseorang.
Dia tidak ingin sahabatnya sampai jatuh menyukainya lebih jauh.
Ya, setelah bertemu dengannya sekali, Nao masih tidak bisa menemukan alasan untuk menyukainya. Bukan berarti ia membencinya, tapi seperti yang sudah ia bilang, Numata sepertinya jauh lebih baik darinya.
Dan kini bahkan gambaran tentang wajah cowok itu telah kembali menghilang di benaknya.
0 Comments