“Seperti yang kau perkirakan, Risa pun ditolaknya juga!”
Aku menoleh ke arah Mirai yang kini tengah berjalan terburu ke arah kursinya. Cewek itu lalu duduk di tempat duduknya, yang berada tepat di depanku. Aku tahu persis apa yang tengah dibicarakan gadis dengan rambut kepang dua ini: Kamiki.
Sebenarnya Mirai sedang tidak bicara denganku, tapi pada Maria, gadis yang duduk di sebelahku. Meski begitu, aku yakin Mirai tidak keberatan aku mencuri dengar, karena aku juga sahabat mereka.
“Nah, sudah ku bilang, kan? Bahkan gadis secantik Risa juga ditolaknya,” Maria sepertinya sudah tidak terkejut lagi dengan kabar yang barusan di terimanya. Ia menghela nafas panjang.
Risa, cewek yang tengah mereka bicarakan sekarang adalah anak kelas sebelah, kelas 2D. Dia adalah cewek pindahan yang menarik cukup banyak perhatian. Dia memiliki wajah yang manis, dan kepribadian bagaikan seorang anak konglomerat. Setidaknya begitulah yang selama ini sering Mirai dan Maria bicarakan. Banyak orang yang mengatakan bahwa ia adalah pasangan ideal untuk Kamiki, sang bintang sekolah yang masih tetap menjomblo meski ada berpuluh cewek yang telah menembaknya. Tapi ternyata kali ini Risa pun belum beruntung dan kembali menjadi korban patah hati karena ditolak oleh Kamiki.
Mirai mendengus, “Kalau dia saja ditolak, apa menurutmu aku punya kesempatan untuk diterima?”
Maria manggut-manggut sambil memonyongkan bibirnya. Ini berat, tapi benar. Kesempatan Mirai untuk menjadi pacar Kamiki mekang kecil sekali.
“Sepertinya slogan yang mengatakan bahwa Kamiki adalah milik kita bersama memang benar dan tak bisa diganggu-gugat lagi.”
“Orang yang membuat slogan semacam cuma orang yang tidak punya kepercayaan diri untuk menembak Kamiki dan disaat bersamaan tidak ingin Kamiki menjadi milik lain,” timpalku.
Maria dan Mirai mengalihkan pandangannya ke arahku yang baru buka suara.
Aku mengalihkan pandanganku pada mereka berdua. “Ngomong-ngomong, apakah tidak ada laki-laki lain selain Kamiki? Kenapa para cewe hanya fokus padanya seorang?”
Mirai menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia tahu dengan jelas bahwa aku tak tertarik sama sekali dengan makhluk bernama Kamiki itu. “Kau benar-benar tak mengerti apa-apa, Nao. Kamiki itu bagaikan bintang! Bisa menjadi pacarnya benar-benar bagaikan mendapatkan sebuah hadiah bergengsi yang melebihi piala oscar! Dia itu...”
“Tampan, pandai, dan keren. Sempurna! Ya, itu kan yang mau kau bilang padaku?” potongku cepat.
Mirai mengangguk mantap. “Kau sudah tahu itu, kan? Makanya semua cewek yang ada di sekolah ini selalu penasaran dan berusaha sebaik mungkin untuk menarik perhatiannya. Dia itu benar-benar tipe cowok ideal!” ucapnya menggebu-gebu.
“Hm, tapi aneh juga sampai sekarang dia masih tidak terlihat berkencan dengan siapapun meski kita sudah berada di tahun kedua SMA,” Maria tiba-tiba terdiam sambil memasang tampang berpikir serius.
Benar, apa penyebabnya?
“Mungkinkah dia punya pacar di luar sekolah?”
“Mungkinkah dia suka cewek yang lebih tua darinya?”
“Atau mungkin dia seorang homo?”
“EEEEH?!”
Maria dan Mirai melotot mendengar pendapatku yang asal. Aku cuek dan kembali menikmati roti isi yang sedari tadi tengah ku santap.
“Jangan menarik kesimpulan konyol seperti itu!” protes Maria. Jantungnya serasa hampir berhenti membayangkan bahwa Kamiki memang benar-benar seorang homo.
“Iya. Tidak punya pacar bukan berarti Kamiki seorang homo. Dia cuma punya tipe cewek ideal yang cukup tinggi dan tidak bisa kita penuhi. Makanya dia sampai sekarang dia masih jomblo!” Mirai ikut-ikutan membela Kamiki.
Aku membetulkan letak kacamataku dan memasang tampang cuek. “Aku hanya mencoba berasumsi. Memang, tak ada bukti yang menyatakan bahwa asumsi barusan adalah benar, tapi juga tak bukti bahwa pernyataan itu adalah salah,” aku nyengir. Mirai mencibir.
“Huh, kau berani bilang begitu karena kau tidak pernah tertarik pada Kamiki.”
Aku mengangguk setuju. “Kenyatannya, saat kita membicarakan Kamiki, aku tak bisa membayangkan bagaimana penampakan tampangnya di pikiranku sama sekali,” akuku.
“Nah, itu masalahnya. Kau tidak pernah memperhatikan Kamiki dengan serius sehingga tidak tahu bagaimana pesonanya. Coba pandangi wajahnya selama lima detik saja, kau pasti akan langsung jatuh cinta dengannya,” tambah Maria.
“Jadi ini semua tentang tampang?” aku tersenyum. “Kalau masalah tampang, pasti banyak idola yang lebih tampan darinya, kan?”
“Itu bena. Tapi untuk sekarang, dari sekian banyak orang tampan di dunia, Kamiki-lah yang berada di radius paling dekat dengan kita,” potong Mirai cepat. Aku tersenyum geli mendengarnya.
“Jadi sebenarnya kalian ini suka, atau ngefans belaka?”
“Kami suka, ngefans, dan kepengen jadi pacarnya!” jawab Maria mantap.
“Rakus sekali,” gumanku setengah berbisik. Ku alihkan pandanganku pada Numata yang dari tadi sepertinya mencoba mencuri dengar pembicaraan kami. Saat sadar bahwa ku tengah melihat ke arahnya, ia membuang muka.
“Daripada berharap terlalu tinggi, bukankah kalian lebih baik melihat realitas yang ada? Lihat, Numata dari tadi memandang ke arah kita. Mungkin dia menyukai salah satu di antara kalian berdua. Dilihat dari tampang, dia tidak begitu buruk juga, kan?”
“Hah..” Mirai memasang tampang kecewa. Sekilas ia memandang Numata yang sata ini tengah pura-pura sibuk membaca buku. “Hidup ini harus penuh dengan petualangan. Kita harus berusaha memiliki target setinggi mungkin dalam hidup, termasuk untuk urusan cowok. Benar kan, Maria?”
“Benar. Numata memang tidak buruk, tapi kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak berusaha menggapai sesuatu yang lebih baik?” Maria membenarkan.
Aku kembali geleng-geleng kepala.
Ku perhatikan wajah ke dua cewek yang ada dihadapanku. Mirai dan Maria, aku mengenal dua gadis ini ketika pertama kali masuk ke SMA. Dua gadis ini begitu berisik, dan sepertinya sudah saling mengenal semenjak SMP. Aku yang lebih banyak diam sebenarnya lebih memilih untuk tidak berurusan dengan mereka, tapi karena saat di kelas satu tempat dudukku tepat berada di antara Mirai dan Maria, sekarang kami menjadi sahabat dekat.
Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mereka, kenapa mereka mau berteman denganku. Pada dasarnya aku lebih banyak menjadi seorang pendengar, namun mereka tetap terus menyeretku untuk pergi hang out bareng dan tak pernah sekalipun menganggap bahwa aku seorang yang membosankan. Tak jarang cuma mereka berdua yang asyik bicara dan aku hanya mendengarkan tanpa komentar apapun. Mereka tak pernah memaksaku untuk bicara. Meski begitu, bila mereka menanyakan sesuatu padaku, aku akan tetap menjawab sebisaku.
Mereka berdua benar-benar gadis yang unik, dan sahabat yang baik.
Kamiki, cowok yang tengah kami bicarakan adalah idola sekolah ini. Sejak tahun pertama, ia sudah menjadi bahan pembicaraan para cewek, termasuk Mirai dan Maria. Aku sendiri tidak begitu ingat mana cowok yang namanya Kamiki. Kebanyakan aku cuma mendengar ceritanya dari Mirai dan Maria. Memang ada saat ketika ku melihat sosok Kamiki secara langsung, tapi tetap saja aku tak bisa menyimpannya di dalam memori otakku.
Ingatanku memang hebat. Otakku hanya akan berusaha menyimpan dan mengingat hal-hal yang penting saja.
Beberapa hari belakangan, pembicaraan tentang Kamiki antara Mirai dan Maria semakin sering. Alasannya sederhana, Mirai ingin menembak Kamiki. Meski begitu, tentu saja dia harus lihat-lihat keadaan dulu. Dia ingin memastikan bahwa usahanya sukses, walau kemungkinan itu kecil. Setidaknya ia ingin memberikan kesan baik pada Kamiki. Setidaknya walau tidak pacaran, mungkin Kamiki bersedia menjalin hubungan baik dengannya.
Ah, sebuah mimpi seorang gadis yang indah.
Aku tidak tahu bagaimana kepribadian cowok bernama Kamiki itu. Dari apa yang ku dengar dari Mirai dan Maria, Kamiki adalah tipe cowok cool yang selama ini selalu terlihat berdua dengan Takeru. Well, kalau itu Takeru, aku tahu sedikit tentangnya. Bukan berarti aku tahu yang mana orangnya, tapi aku selalu melihat nama cowok itu ada di peringkat pertama dalam pengumuman hasil ujian semester, dan hal itu membuatku sedikit iri karena selama ini cuma bisa bertahan di peringkat kedua. Sementara Kamiki, aku tak pernah melihat namanya dalam peringkat lima teratas. Mungkin dia peringkat enam? Aku tak peduli.
Tapi tunggu dulu, bukankah itu berarti Takeru lebih baik dari Kamiki?
Dilihat dari bagaimanapun, cowok bernama Kamiki itu sepertinya bukanlah tipe cowok sempurna seperti yang selama ini dibicarakan oleh Mirai dan Maria. Meski pada dasarnya asumsiku tentang homo barusan hanya main-main belaka, ada kemungkinan bahwa itu benar. Siapa yang tahu?
Hm, mungkinah itu memang benar?
“Yosh!” Aku menutup kotak bekal makan siangku yang sudah kosong dan memasukkannya kembali ke dalam tas. “Sudah ku putuskan.”
Maria dan Mirai yang sepertinya dari tadi ribut memikirkan strategi terbaik untuk menembak Kamiki menghentikan perdebatan mereka saat mendengar ucapanku barusan.
“Apanya?”
“Akan ku buktikan bahwa Kamiki adalah memang seorang Homo.”
“Eeeh?”
Kembali Mirai dan Maria membelalakkan matanya, kali ini lebih lebar dari sebelumnya.
“Maksudmu apa? Kau masih berpikiran bahwa Kamiki itu seorang homo?”
Aku mengangguk santai. “Setidaknya itu pendapatku hingga ia benar-benar punya seorang pacar.”
“Nao, kau gila!”
“Pendapatmu itu konyol! Kebohongan besar!”
“Makanya...” ucapku lambat-lambat. “Aku akan membuktikannya,” sambungku.
Mirai menatapku serius. “Bagaimana... caranya?”
Aku terdiam sejenak, lalu menatap tampang mereka lekat-lekat.
“Aku akan pergi menembak Kamiki. Dan bila ia tidak menerimaku, berarti ia seorang homo.”
....
“EEEEEHH??!
0 Comments