JSON Variables

Header Ads

Fast & Food Chapter 2

Duduk di hadapan pria oriental itu, pikiran Putri bekerja keras.

Tapi bukan rasa canggung itu yang membuat pikirannya kalut, tapi pilihan menu warung yang membuat pikirannya semrawut.

Nasi goreng, nasi mawut, bakso, mie ayam, mie goreng, sop, soto, rawo, de el el, semua tersedia, dengan harga sepulu ribu tiap porsinya.

Super murah cuk!

Pantas saja rumah makan ini padat merayap, tak ada bangku kosong yang tersedia saat jam istirahat tiba. Pantas saja Bu Rah, Supervisornya, merekomendasikan tempat ini. Pantas saja nama warung makan ini SERBATEN, serba sepuluh ribu ternyata harganya.

Namun Putri tak punya banyak waktu untuk memilih. Ia putuskan untuk memesan sepiring soto, lengkap dengan es tehnya. Untuk menu lain, ia masih punya kesempatan untuk mencobanyak di lain hari.

Selesai memesan makanan, Putri kembali dihadapkan dengan kenyataan: ada cowok oriental yang tengah duduk dihadapannya, sibuk mengutak atik smartphonenya.

Sebelum duduk tadi, Putri memutuskan mengambil keputusan dan kesimpulan penting: cowok oriental itu cuma manusia, sama seperti dirinya, tak perlu merasa sungkan, tak sudi merasa tertekan. Mereka bukan pula teman makan, hanya dua orang yang kebetulan bertemu di sebuah warung dan menggunakan satu meja yang sama saat makan. Besok-besok, toh Putri juga tak akan bertemu dengan si cowok lagi. Jadi yah, anggap saja apa yang dihadapanmu itu angin. Alihkan fokus perhatianmu ke makanan yang… akhirnya datang juga. Putri tersenyum menyeringai.

Porsi soto yang ada dihadapannya sepertinya akan cukup mengganjal perutnya. Selesai berdoa, Putri mengambil sendok dan menyeruput kuahnya. Sllrrrp!

Sempurna.

Putri makan dengan lahap sebagaimana ia biasa makan, tak peduli lagi di depannya dan cowok tamvan yang mungkin merasa aneh dengan gaya makananya yang tidak kecewekan. Putri melirik jam tangannya, hampir jam setengah satu, dan sotonya sudah hampir selesai. Ia masih punya banyak waktu, untuk kembali ke kantor dan shalat zuhur.

Putri menyelesaikan proses pembayaran dan segera kembali ke kantor. Sekilas ia berpaling ke belakang, melirik si cowok oriental yang dengan anggunnya menghabiskan semangkuk bakso yang ia pesan. Putri tidak mengucapkan permisi saat ia pulang duluan tadi, tapi sepertinya itu bukan masalah besar. Toh besok-besok, mereka tidak akan bertemu juga, kan?

****

Ternyata takdir berkata lain.

Dua hari kemudian, Putri datang ke warung itu lagi, hanya untuk kembali mendapati kenyataan bahwa warung itu penuh sesak dengan pengunjung, dan cuma ada satu bangku kosong di tempat itu, di pojok sebelah kiri, yang dihadapannya tengah duduk seorang cowok oriental, tengah sibuk dengan smartphone ditangannya.

Putri keki. Haruskah ia kabur saja?

Namun mata awas Putri tanpa sadar bertemu dengan mata tajam si cowok oriental, yang entah ada angin apa tengah memalingkan wajahnya ke belakang sehingga ia bisa melihat keberadaan Putri. Putri tersenyum kikuk. Sementara si cowok oriental member isyarat dengan mata dan dagunya, ‘mempersilahkan’ Putri untuk duduk di hadapannya.

Entah mengapa, Putri memilih untuk menurut.

Kali ini dipesannya sepiring nasi mawut, dengan harga yang cuma sepuluh ribu rupiah, dan rasa yang benar-benar membuat Putri bermimpi indah.

Putri membayar makanannya dengan uang pas, lagi-lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada si cowok oriental. Kali ini si cowok memesan nasi rawon, yang lagi-lagi, dinikmatinya dengan gaya anggun berkelas.

Putri menghela nafas panjang.

Besok-besok, mungkin dia akan bertemu dengan si cowok lagi.

***

Hari ini, saat Putri datang ku warung makan SERBATEN, ia dapati suasana warung lebih lengang dari biasanya. Entah kenapa, mungkin karena ia datang sepuluh menit lebih cepat, atau mungkin karena hari ini adalah awal bulan Muharram?

Putri tak peduli hal itu. Satu hal yang jelas, ia bisa bebas untuk memilih bangku.

Ada banyak bangku kosong yang tersedia di tempat itu, dan Putri menjatuhkan pilihannya pada sebuah bangku kosong tak jauh dari pintu keluar. Tak ada pertimbangan khusus mengapa ia memilih tempat itu, hanya karena bangku itu kosong.

“Jangan duduk di sana.”

Hampir saja Putri mendaratkan pantatnya di bangku tersebut, sebuah suara yang asing yang pertama kali ia dengar, menghentikan gerak geriknya.

Putri berpaling. Si cowok oriental ada di belakangnya.

“Duduk di tempat biasa.”

Si cowok memberi isyarat dengan matanya, menunjuk ke meja dimana mereka biasa makan, lalu berjalan mendahului Putri, meninggalkan Putri dengan kebingungan yang tergambar jelas di keningnya yang berkerut.

Jangan duduk? Kenapa? Kenapa pula ia mesti menurutinya?

Meski kebingungan terus berkecamuk di kepalanya, namun hati berkata lain.

Pada akhirnya Putri memutuskan untuk tidak jadi duduk di tempat itu, lalu berjalan mendekati si cowok oriental dengan satu alasan pasti: dia butuh penjelasan.

Putri mengambil tempat duduk di hadapan si cowok oriental, menatapnya tajam seakan mata itu tengah bertanya, kenapa ia melarang Putri duduk di tempat itu.

Si cowok oriental sepertinya merupakan cowok yang cukup peka. Dengan sekali lihat ia sudah tahu apa arti tatapan Putri barusan. “Tempat itu sudah ada yang punya,” jawabnya pendek.

Kening Putri masih berkerut. Tidak puas dengan jawaban yang bukan memberikan kejelasan itu.

Si cowok oriental sepertinya juga paham bahwa Putri masih tidak puas dengan jawabannya. Ia melanjutkan, “Pemilik tempat itu adalah seorang pria paruh baya, berkumis lebat dan kepada sudah mulai plontos, bersama seorang gadis cantik yang sepertinya sekretarisnya, berambut sebahu dicat kemerahan, mengenakan high heel yang tak tingginya tak pernah kurang dari 10 cm.”

Eh? Apaan barusan?

Belum habis kebingungan Putri, tiba-tiba dua orang sosok dengan gambaran yang sama persis dengan yang barusan dikatakan si cowok oriental masuk ke rumah makan tersebut, dengan santainya berjalan dan duduk di bangkul yang tadi ingin ia tempati, lalu dengan santainya memesan makanan yang ia sukai.

Putri terlonjak. Matanya terbelalak.

Pe.. peramal??!

Si cowok berpaling, ikut melihat ke arah yang kini tengah dipandang Putri dengan tatapan tak percaya. Kini Putri mengalihkan pandangannya pada si cowok oriental yang bisa menebak masa depan dengan tepat. Ia menatapnya takut.

ESP??!

“Mereka regular,” ujar si cowok, mengerti penuh kebingungan Putri yang tergambar jelas di wajah bulatnya, membuat wajah Putri langsung berubah drastis dari tatapn takut ke tatapan penuh rasa malu.

“Oh,” sahut Putri pendek. Bodohnya. Pantas saja si cowok tahu dengan jelas. Mereka pelanggan tempat ini ternyata. Tentu saja bukan hal yang aneh bila si cowok mengetahui dengan jelas hal umum tersebut. Apalagi bila dia…

“Kau juga regular?” tanya Putri spontan, tak bermaksud bertingkah kepo dan semacamnya.

Si cowok oriental mengangguk.

“Lalu… tempat yang ku duduki ini?”

Kali ini Putri bertanya sungguh-sungguh, bertanya penuh selidik, karena ia takut bahwa keberadaannya sekarang telah membuat seseorang sakit hati. Bagaimana bila ternyata di tempat yang ia duduki sekarang juga ada seorang regular, seorang regular yang mesti kehilangan tempatnya gara-gara ia mengambilnya. Seorang regular yang selalu duduk berhadapan dengan si cowok orientalis menemaninya makan.

Putri tersentak.

Jangan-jangan… ini tempat pacar si cowok?

“Sudah lama kosong.”

Putri terdiam mendengar jawaban pendek si cowok oriental. Jawaban macam apa itu, tidak jelas sama sekali. Namun dari ekspresi si cowok, Putri sadar bahwa pria itu tidak akan menyambung jawabannya. Apalagi kemudian semangkuk mie ayam lezat telah tersaji di depannya, sehingga tanpa banyak cingcong ia segera melahap ‘anggun’ mie ayam itu.

Putri menggigit bibir. Baiklah, sepertinya ia tak perlu bersikap kelewat kepo. Toh mereka cuma dua orang yang kebetulan makan di tempat yang sama, tanpa hubungan apa-apa yang perlu dipertimbangkan.

Jadi biarkan saja seperti ini.

Tidak seperti biasanya, si cowok oriental menyelesaikan makan siangnya lebih cepat. Selesai makan ia segera berdiri, lalu melirik sekilas ke arah Putri.

“Sampai nanti.”

Kemudian berlalu pergi.

Putri ternganga. Hampir-hampir membuat bakso yang ditelannya bulat-bulat keluar kembali. Sampai nanti dia bilang, isyarat apa itu? Isyarat bahwa mereka akan berjumpa lagi nanti?

Hah, tentu saja.

Mungkin.


Post a Comment

0 Comments