Setelah sebelumnya mendapatkan tugas-tugas simple sebagai seorang ‘penempel kuitansi’, kini tugas Putri sudah mulai meningkat. Selain tetap bertugas sebagai penempel kuitansi, ia juga mesti membuat sendiri laporan keuangan tiap proyek dengan memasukkan data-data yang telah ada. Belum lagi bila ia disuruh ke sana ke sini mengantar dokumen atau memfotocopy berkas yang diminta. Kegiatan Putri benar-benar mulai memadat. Tentu saja, tidak sepadat karyawan asli, namun setidaknya Putri mulai bisa merasakan kehidupan seorang office lady.
Putri butuh suasana santai.
Dan itu bisa didapatkannya dengan melahap makan siang nikmat.
Putri tak pernah absen melewatkan makan siangnya di warung makan SERBATEN, dengan menyantap menu yang berbeda tiap harinya sehingga ia tidak pernah bosan. Surga yang begitu ia nikmati, agar bisa terlepas dari hiruk pikuk suasana kantor, damai, tentram.
Meski di depannya, selalu ada satu sosok yang juga tak pernah absen makan siang di warung ini.
Setelah cukup sering makan ‘berdua’ dengan tuh cowok, Putri mencoba menganalis dan mengambil kesimpulan makhluk macam apa dia. Dilihat dari gaya berpakaiannya, dia adalah seorang salaryman. Bisa dibilang dia adalah salaryman dengan jabatan cukup tinggi, karena gaya makannya yang begitu elegan dan berkelas.
Tapi tetep saja, kenapa si cowok berkelas malah makan siang di warung sederhana begini?
Walaupun selalu menghabiskan waktu makan siang berdua, Putri tidak berniat untuk memulai percakapan dengannya. Si cowok oriental juga demikian, tampak tenggelam di tengah pikirannya sendiri dan sibuk menyantap makanan di depannya. Sehingga bagi orang yang melihat mereka berdua, pasti akan banyak yang mengira bahwa mereka adalah pasangan yang sedang berantem dan sedang diem-dieman. Padahal kenyataannya, mereka memang selalu diem-dieman.
Siiiiiiing…..
Trit! Trit!
Smartphone si cowok oriental berbunyi. Ia mengangkat teleponnya dan sibuk bicara dengan bahasa asing. Putri pura-pura tidak mendengar.
Sudah sering Putri melihat si cowok mengangkat telpon dan bicara dengan berbagai bahasa. Kadang ia biacara bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Arab, atau Bahasa China. Tentu saja, bukan berarti Putri mengerti semua bahasa itu, tapi dengan sekilas dengar, setidaknya ia bisa membedakan tengah bicara bahasa apa si cowok. Putri juga, karena ia merupakan sarjana sastra Bahasa Inggris, jadi ia mengerti dengan baik bahasa itu. Bisa diketahui dengan jelas bahwa si cowok tengah membicarakan bisnis di telepon, menyebutkan istilah-istilah perekenomian entah apa itu namanya, Putri tidak tahu jelas. Satu hal yang Putri pahami: untuk cari aman, lebih baik ia pura-pura tidak mendengar saja.
Kali ini, si cowok berbicara Bahasa Jepang dengan orang di seberang telepon.
Putri mengerti bahasa Jepang sedikit banyak, karena ia juga pernah masuk menjadi daftar korban remaja yang terhempas di dalam Gelombang Asia. Ah, tapi itu masa lalu, bertahun-tahun lalu. Kini ia sudah tak segandrung dulu, namun ia merasa sedikit bersyukur karena ‘penyakit’ demam Asia yang dulu ia idap membuat ia mempunyai kemampuan berbahasa Jepang dan sedikit Korea.
“Aku sedang makan siang,” kata si cowok orientalis dengan orang di seberang telepon, masih dengan bahasa Jepang. Sepertinya pembicaraan bisnis mereka sudah mulai selesai dan mereka beralih membicarakan hal-hal yang ringan.
“Oh….” Si cowok mengarahkan pandangannya ke arah Putri, Putri masih pura-pura tidak mendengar. “Tidak, berdua.”
Putri menundukkan kepalanya dengan mata sedikit terbelalak. Dimasukkannya mie ayam yang ada di piringnya dengan tangan bergetar? Pikirannya bekerja penuh rasa penasaran.
Waduh, apa yang tengah cowok ini bicarakan?
“Aku sedang kencan.”
….
Uhuk… uhuk….
Tanpa sadar Putri mengeluarkan kembali mie ayam yang hampir masuk ke mulutnya, demi mendengar percakapan si cowok oriental dalam bahasa Jepang itu. Deeto? Kencan dia bilang? Dare to?
Mata si cowok terbelalak kaget melihat Putri yang tengah keselek. Segera ia bisa mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, dan tanpa banyak cingcong segera mengakhiri percakapannya di telepon. Ia membantu Putri yang tengah tersedak dengan menepuk-nepuk punggungya perlahan. Disodorkannya air minum yang sedari tadi belum disentuh oleh Putri. Tangan Putri tergagap megambil gelas itu dan meminumnya perlahan.
Ah, badai telah berlalu.
Namun ia sekarang tersadar akan badai baru yang akan dihadapinya.
Cowok oriental itu, jangan-jangan ia sadar bahwa Putri menguping pembicaraannya? Itu satu-satunya alasan yang logis kenapa ia tersedak di timing setepat itu kan? Ah, tapi mungkin saja, si cowok berpikir kalau ini semua hanya kebetulan dan ia cuma menutup teleponnya karena terkejut melihat ‘teman makannya’ tengah tersedak dengan alasan yang tidak jelas.
Siapa tahu, kan?
“Kau mengerti Bahasa Jepang?”
Uhuk!
Kali ini Putri terbatuk. Dugaannya meleset.
Haruskah ia jujur? Bagaimana kalau ia marah? Tapi tunggu, kenapa ia harus takut? Toh ia tak salah apapun. Ia tak bermaksud untuk mendengar pebicaraan teleponnya secara langsung. Siapa suruh untuk menelepon di tempat umum seperti itu? Bukan cuma Putri yang bisa mendengar dengan jelas pembicaraannya, tapi juga ibu-ibu yang duduk berpunggungan dengan Putri, yang….
Sepertinya tidak mengerti bahasa asing.
“Ehm,” Putri berdehem. Ia meneguk minumannya sekali lagi. “Maafkan aku, aku tak bermaksud menguping,” ucapnya meminta maaf, khas gaya seorang office lady yang tengah berhadapan dengan seorang klien kantor yang dihormatinya.
Si cowok terdiam sebentar mendengar jawaban Putri, membuat pikiran Putri mulai membayangkan apa kira-kira kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan si cowok oriental padanya. Marahkah? Menyuruhnya tutup mulut kah? Pergi kah?
“Namaku Pres.”
“Eh?” Putri mengangkat kepalanya tak percaya. Cowok itu baru saja memperkenalkan dirinya padanya?
Namun sikap professional segera merasuk ke raganya.
“Aku Putri,” Putri balik memperkenalkan dirinya, tak lupa dilengkapi dengan senyum pemanis diri.
“Kau orang baru di tempat ini, kan?”
Orang baru, dia bilang? Baru sekarang ia bertanya, padahal mereka sudah saling makan berdua selama hampir dua minggu.
Sabar, pertahankan sikap profesionalmu.
“Aku anak magang di KENT,” jawab Putri jujur.
“Oh..” cowok oriental yang mengaku bernama Pres itu cuma ber-oh pendek. Ia manggut-manggut, namun tak bertanya lebih jauh. Perhatiannya kini kembali teralih pada nasi goreng yang mulai dingin karena lama tak disentuh. Ia mulai melanjutkan makannya.
Dan wawancara singkat sepertinya berakhir disini. Menyisakan tanda tanya di hati Putri yang masih bingung dengan pernyataan Pres barusan tentang kencan.
Sekarang ia sedang kencan??
0 Comments