Fase itu bisa dihadapi setiap sepuluh tahun sekali, setahun sekali, setengah bulan sekali, atau bahkan kurang dari itu.
Seperti sekarang, ada orang yang tengah menghadapi fase baru di dalam hidupnya hanya berselang dua bulan saat ia memulai fase kehidupan lain yang harus ia lalui.
Fase magang, itulah kini yang harus dihadapi oleh Putri, setelah dua bulan sebelumnya ia mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja Provinsi, jurusan administrasi perkantoran.
Memilih tempat magang bukanlah perkara yang mudah. Putri harus berebut dengan lima belas teman sekelasnya untuk mendapatkan tempat magang terbaik, yang kira-kira bisa memberikan peluang yang cerah dalam karir mereka di masa depan. Diutamakan perusahaan yang juga bisa melakukan perekrutan, agar mereka tidak perlu sibuk lagi mencari tempat kerja ulang selesai magang. Perusahaan tersebut, semakin besar semakin baik, semakin tinggi gedungnya semakin hebat, semakin menjanjikan karirnya di masa depan, semakin sempurna.
Dan Putri menjatuhkan pilihannya pada KENT INDONESIA LABORATORY, bagian dari perusahaan besar KENT COMPANY, salah satu perusahaan batu bara yang tengah berkembang pesat sekarang. Pertimbangan Putri memilih perusahaan ini ada tiga hal: pertama, instruktur di BLK merekomendasikannya perusahaan ini; kedua, jaraknya cukup dekat dengan rumahnya; ketiga, ia sudah melakukan shalat istikharah.
Hari pertama, Putri ‘dilemparkan’ bekerja di bagian Finance.
Putri tidak mengerti detailnya, kenapa ia yang anak admin malah diminta untuk magang di bagian Finance. Tentu saja, sebagai anak magang ia tidak bisa suka pilih dan terima saja ditempatkan untuk bertugas dimanapun. Bahkan sekalipun tugas yang ia lakukan sekarang terbilang begitu sederhana: menempel puluhan kuitansi ke kertas laporan keuangan.
“Kau masing untung sudah dapat kerjaan.”
Putri mendapat pesan dari teman sekelasnya di BLK, Rahmi, yang kini tengah magang di PT. BOLI, Perusaan Konstruksi. “Sejak aku datang hingga jam sebelas sekarang, aku cuma duduk bengong di ruangan tak diperhatikan oleh siapapun. Kacang Kacaaaang!”
“Hah, tugasmu simple sekali Putri, tak seribet diriku.”
Kali ini Putri menerima pesan dari Mala yang magang di PT. BRIGHT, perusahaan penghasil sawit terbesar di kotanya. “Hari pertama aku langsung diserahi tugas berbau Excel. Ya ampuun, aku kan paling lemah dalam urusan ini!”
Putri menghela nafas panjang. Setiap orang selalu mengeluhkan apapun yang ia kerjakan. Terlalu sedikit, terlalu simple, ngeluh. Terlalu banyak, terlalu ribet, ngeluh. Jadi manusia itu sebenarnya maunya apa?
Seize the day.
***
Putri baru sadar saat waktu makan siang akan tiba, bahwa perusahaan ini tidak memberikan jatah konsumsi pada karyawannya. Dengan kata lain, mereka harus makan di luar. Sebagian karyawan ibu-ibu yang tidak mau ribet memilih untuk membawa makanan langsung dari rumah, namun Putri ragu bisa melakukan itu, bahkan di masa depan sekalipun. Ia bukan orang yang pandai memasak. Meski Dan, kakaknya, merupakan seorang koki di salah satu rumah makan, ia tak mau membuat repot karena ia tahu seberapa padat kesibukan kakaknya.
“Kalau warung makan, ada di dekat sini warung makan murah, sekitar lima menit jalan kali.”
Begitu Bu Rah, supervisornya memberitahu, saat Putri menanyakan nasib makan siang yang tak jelas rimbanya. “Hanya saja, tempat itu selalu penuh pada jam makan siang. Susah menemukan bangku kosong di sana.”
Tangan Putri panas dingin, bukan karena ia terkagum-kagum pada ketampanan cowok dihadapannya, tapi karena ia merasa seakan tengah memasuki daerah terlarang, daerah yang tidak seharusnya dimasuki oleh rakyat jelata macam dirinya. Mampus, bagaimana kalau pria itu mengira kalau Putri tengah melakukan modus rayuan padanya?
Apa sebaiknya Putri kabur saja?
Peringatan itu tak menghalangi niatan Putri untuk pergi menyantap makan siang di warung yang disebutkan. Segera saat jam tangannya menunjukkan jam dua belas siang, Putri berpamitan keluar kepada supervisor dan orang-orang lain yang ada di ruang kerjanya. Turun dari lantai tiga tempat ia bekerja, Putri mengambil jalan belok sebelah kiri, dan berjalan lurus selama lima menit. Benar saja. Dihadapannya ada sebuah rumah makan sederhana bernama “SERBATEN” yang tampak padat dan hiruk pikuk dengan banyaknya orang. Sekilas lihat, Putri bisa mengetahui dengan jelas bahwa kebanyakan yang makan disini adalah para karyawan perkantoran. Ya, di daerah sini memang daerah padat perkantoran, jadi tidak aneh kalau pelanggan di warung makan ini juga para karyawan. Di sisi kiri kanan warung itu sebenarnya juga ada rumah makan lain, atau mungkin lebih tepatnya resto, karena gayanya terlihat lebih berkelas dan elegan. Tapi Putri tak berniat untuk melirik tempat itu. Sekarang yang jadi prioritasnya adalah menghemat uang, maka ia putuskan untuk melangkahkan kaki memasuki warung sederhana yang ada tepat di depan matanya.
Ternyata benar. Tempat itu luar biasa padat. Lebih tepatnya, warung makan itu tidak begitu luas, sehingga bangku makan yang tersedia juga tidak banyak. Semua bangku sudah terisi penuh, setiap orang terlihat sibuk menyantap makanan yang ada atau menunggu pesanan datang. Tak ada tanda-tanda ada orang yang akan keluar. Tentu saja, jam istirahat kantor baru dimulai. Putri pasrah. Haruskan ia menyerah?
Di pojok kiri, mata awas Putri melihat seberkas cahaya menyilaukan mata: sebuah bangku kosong. Semangat itu kembali membara, membuat Putri bergegas menuju sumber cahaya sebelum ada orang lain yang mengambilnya.
Semakin mendekat Putri baru sadar, bahwa bangku kosong itu menghadap ke sebuah meja kecil, dan di seberang bangku kosong itu ada sebuah bangku lain yang telah diisi oleh orang lain. Eh? Jangan bilang itu bukan bangku kosong? Jangan bilang si empunnya bangku cuma sedang izin ke toilet? Jangan bilang….
Tak ada salahnya untuk bertanya, bukan?
“Maaf, di bangku ini, ada pada orang?”
Putri memberanikan diri bertanya, saat kemudian orang yang duduk di seberang bangku itu mengarahkan pandangannya ke arah Putri. Putri tersentak.
Dihadapannya kini ada sosok pria yang bahkan lebih menyilaukan dari bangku kosong yang tadi ia dapati. Pria berbaju batik itu memiliki perawakan kurus tegap, kulit putih dan berparas oriental. Ada sepasang kacamata yang bertengger di depan kedua bola matanya, membuat tatapannya terlihat semakin mengintimidasi. Usianya kira-kira tiga puluhan, tidak terlihat jelas karena tampangnya yang awet muda. Siapapun yang melihatnya akan terpana, terdiam tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mengagumi indahnya mahakarya Sang Kuasa, seperti yang kini tengah di alami Putri.
Tapi bukan itu ceritanya.
Tangan Putri panas dingin, bukan karena ia terkagum-kagum pada ketampanan cowok dihadapannya, tapi karena ia merasa seakan tengah memasuki daerah terlarang, daerah yang tidak seharusnya dimasuki oleh rakyat jelata macam dirinya. Mampus, bagaimana kalau pria itu mengira kalau Putri tengah melakukan modus rayuan padanya?
Apa sebaiknya Putri kabur saja?
Haruskah ia minta maaf? Bilang tidak jadi, lalu melarikan diri?
Namun Putri cuma bisa mematung, membiarkan bola matanya beradu dengan pria oriental dihadapannya. Entah kenapa Putri tidak mau memalingkan wajah. Setidaknya, sampai pria itu yang lebih dulu membuang mukanya.
Dan doa Putri terkabul. Pria itu membuang muka. Putri menyeringai. Apakah saatnya untuk kabur?
“Tidak ada orang. Silahkan duduk.”
….
“Eh?”
0 Comments