Berapa banyak mimpi yang telah ku wujudkan?
Saat teknologi semakin canggih dan orang-orang tak pernah lepas dari benda bernama smartphone, aku si hikikumori tak pernah tergoda untuk kepengen memilikinya. Bagiku, selama aku punya laptop yang bisa konek ke internet tempatku ngeblog ria, itu sudah cukup. Teman-teman sekelasku sudah asyik berkubang dengan apps bernama BM, Line dan semacamnya, aku tetap cuek. Aku merasa sudah cukup berbahagia dengan apa yang ku miliki. Bukannya aku tidak kepengen punya smartphone, tapi dulu pernah terbersit di benakku, aku baru mau beli smartphone bila sudah punya penghasilan sendiri. Dengan kata lain, dengan uang sendiri.
Meski begitu, untuk KKN kali ini, aku hidup serumah dengan empat orang yang tidak pernah ku kenal sebelumnya. Selama ini, aku terbiasa tinggal sendiri, namun sekarang aku hidup dengan orang lain, benar-benar pengalaman pertama. Mereka tak pernah lepas dari benda bernama smartphone, dan mau tak mau itu sedikit mempengaruhi perasaanku. Ngiri? Mungkin. Lebih tepatnya, aku merasa rada boring karena masing-masing sibuk main dengan smartphonennya, sementara aku masih asyik main ular-ularan di stupidphpneku. Haha
Akhirnya ku putuskan, aku kepengen beli smartphone. Kebetulan dana haji abah cair, sehingga tabunganku nambah. Sekarang aku lagi istirahat pulang kampung, dan kesempatan ini tak ku sia-siakan begitu saja. Ku ajak kakakku tadi pergi ke toko ponsel untuk beli smartphone terbaru. Target yang harga 2 jutaan, pokoknya cari yang kameranya bagus. Setelah pilih-pilih, akhirnya ku pilih smartphone Oppo Neo 7. Harganya rada bikin kaget, 2,4 juta, tapi sudahlah, daripada beli setengah-setengah. Aku pilih yang warna putih, dan setelah menunggu proses penambahan aplikasi dan administrasi lainnya, akhirnya smarthone itu bisa kubawa pulang ke rumah dengan selamat.
Sebenarnya apa sih tujuanku punya smartphone?
Well, aku bukan penggemar bm, jadi tujuan punya SP bukan buat bisa bm am ama temen-temen, itu kebutuhan sekunder aja. LINE? Juga begitu. Selfie? Jangan tanya. Aku benci difoto, tapi suka memfoto. Jadi secara umum, bisa dibilang aku kepengen punya SP karena kepengen kameranya, buat memfoto dan membuat video. Lumayan, aku bisa mengunggah video-video original karyaku ke akun youtubeku buat nambah earning. Lalu buat foto, juga bisa ku unggah ke blog ini. mau foto yang seperti apa, misalnya kegiatan KKN atau foto-foto suasana desa, kan menarik. Pokoknya, nih kamera bakal ku gunakan semaksimal mungkin untuk mendokumentasikan kegiatan KKN dan menuliskan artikelnya di blog ini. ehe
Ah, perfectlah sudah separuh hidupku karena punya smartphone, begitu pikirku. Sesampainya dirumah, ku coba mengutak-atik SP baruku sambil mencoba-coba membiasakan diri menggunakannya. Sampai kemudian mama melihat SP itu dan bertanya, punya siapa itu. Ku jawab ringan kalau aku baru beli SP baru. Mama kaget, lalu nanya berapa harganya. Maka kusebutkanlah jujur berapa harganya. Mamaku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar harga yang begitu fantastis itu. Aku pun bisa melihat dengan jelas bahwa beliau tidak suka, sehingga ku tanya berkali-kali, apa beliau marah karena aku beli ponsel baru. Beliau bilang tidak, tapi tentu saja aku tahu beliau tidak suka. Anisa yang melihat kejadian itu pun langsung membela dengan mengatakan bahwa aku ini sebenarnya cukup tangguh karena masih bisa menahan diri dengan tidak menggunakan smartphone meski 99% orang-orang pengguna ponsel sudah menggunakan smartphone sebagai ponsel mereka.
Mendengar itu aku langsung menangis.
Aku tak tahu mengapa aku menangis. Mama kelabakan, merasa bersalah. Padahal jujur, aku menangis bukan karena aku marah pada beliau. Hanya saja aku baru tersadar, betapa ‘sabarnya’ diriku yang masih bertahan dengan ponsel biasa tanpa berniat membeli smartphone seperti orang kebanyakan. Aku tidak mau menyalahkan ibuku yang terkejut dengan harga ponsel itu yang selangit, karena pada kenyataannya kami memang tidak berasalah dari keluarga berada, yang bahkan sekarang pun masih memasak dengan menggunakan tungku kayu. Wajar saja bila mama merasa barang sekecil itu sungguh mahal sekali rasanya. Aku pun juga merasa demikian sebenarnya. Tapi ku rasa, sebuah pengorbanan itu setimpal dengan apa yang ku peroleh. Aku tidak menyesal membelinya, tapi aku merasa sedikit menyesal saat sadar mama tidak setuju sepenuhnya.
Ah, mungkin juga itu merupakan bentuk air mata ungkapan hati yang selama ini terus ku pendam. Selalu ku tekankan pada diri sendiri bahwa aku belum membutuhkan smartphone dan belum berniat untuk membelinya. Tapi tetap saja, dalam hatiku aku berkata bahwa aku ingin segera bisa menghasilkan uang yang banyak agar bisa segera beli smartphone. Kini, meski penghasilanku belum bisa mencukupi harga smartphone, tapi aku sudah memiliki satu. Janji itu memang terlanggar, tapi aku tetap ingin bertekad untuk bekerja hingga bisa mengganti harga smartphone itu suatu hari nanti.
Air mata yang aneh, tapi aku lega bisa mentangiskannya.
Kini, smartphone telah ditangan. Aku tidak tahu, apakah kelak aku juga akan berubah menjadi seperti orang-orang yang kecanduan smartphone hingga tak bisa jauh-jauh darinya. Ah, ku harap tidak. Sudah cukup bagiku untuk kecanduan laptop, jangan lagi ditambah kencanduan yang lain. Lagipula, aku sendiri memang lebih fokusnya ke menulis ketimbang membaca. Sehingga akan lebih mumpuni bila ku menggunakan perangkat besar seperti laptop dimana aku bisa menulis dengan bebas. Seperti ini.
Welcome to my world, atarashii keitai. Semoga kau bisa mewarnai hari-hariku menjadi lebih cerah, menjadi lebih bermanfaat.
0 Comments