JSON Variables

Header Ads

[Review] Negeri Para Bedebah, Saat Para Bedebah Memanipulasi Perekonomian Indonesia

Entah sejak kapan, kakakku menjadi penggemar Tere Liye. Karenanya, di rumahku ada banyak novel karangan beliau, lengkap pokoknya kakakku ngoleksi. Meski begitu, dengan deretan novel yang terpajang rapi itu, entah mengapa aku tidak pernah tertarik untuk menyentuhnya. Pernah sih sekali ngebaca novel beliau, namun tetap tidak menumbuhkan rasa cintaku pada karya Bung Tere. Ehe

Meski begitu, sekarang kan aku lagi gencar-gencarnya nih mencanangkan program ayo membaca. Karenanya, aku putuskan untuk mencoba membaca karya beliau. Kali ini ku pilih novel yang ‘katanya’ kakakku selesaikan hanya dalam semalam suntuk gara-gara saking penasarannya: Negeri Para Bedebah.

Anisa sudah pernah bilang spoiler kisah ini padaku, mengatakan kalo kisahnya kayaknya terinspirasi dari kisah bangkrutnya Bank Century. Kali ini, aku ingin menulis review kisah ini, memberikan sedikit komentar juga, baik tentang cerita maupun gaya penulisannya.

Tokoh utama di cerita ini adalah Thomas, seorang konsulat keuangan. Ceritanya, waktu beliau lagi asyik-asyiknya menjalani kehidupan yang aman damai sentosa, Thomas mendapat kabar mengejutkan tentang Omnya yang terancam masuk penjara gara-gara bank yang dimiliki Om Liem tersebut, Bank Semesta, mengalami pailit dengan hutang milyaran. Thomas, yang pada kenyataannya sangat membenci pamannya tersebut, tiba-tiba saja tergerak untuk membantu. Bukan karena ia sayang pada pamannya, tapi karena ia merasa ada skenario lebih besar dibalik penutupan bank tersebut. Ditambah lagi, saat ia tahu bahwa dua orang polisi yang menangani kasus tersebut adalah dua orang yang dulu bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, Thomas pun berniat untuk balas dendam. Caranya? Dengan menyelamatkan Bank Semesta.

Alur cerita dibuat begitu padat. Kejadian yang sebenarnya cuma memakan waktu sekitar tiga hari itu digambarkan sangat padat tanpa ada sedikit pun waktu yang terbuang. Tentu saja, itu tidak semuanya. Ada banyak kilasan cerita masa lalu yang dikisahkan, yang kira-kira berhubungan dengan kejadian masa sekarang, dan saling melengkapi. Beberapa bagian seakan loncat-loncat, belum ketahuan bagaimana cara penyelesaiannya tiba-tiba udah loncat aja ke cerita lain, dan itu kadang membuatku rada kesal. Haha. Penasaran soalnya. Tapi itulah dia kehebatan si penulis yang berhasil mengaduk-ngaduk rasa pensaran para pembaca, yang mau tidak mau harus membaca cerita itu sampai selesai agar rasa penasaran kita ikut terpecahkan.

Layaknya kebanyakan sebuah cerita, di kisah ini pun ada tokoh heroine juga. Gadis beruntung itu bernama Julia, seorang wartawan yang entah bagaimana kisahnya terlibat dalam tindakan kriminal Thomas. Meski tidak ada isyarat yang mengatakan bahwa mereka berdua mempunyai perasaan (tentu saja, ini kan bukan kisah cinta), tapi kehadiran Julia lumayan membuat saya sebagai pembaca wanita bisa menikmatinya dan merasakan bagaimana bila seorang wanita ikut terlibat dalam kejahatannya.

Ku bilang kejahatan, karena pada kenyataannya, di kisah ini memang diceritakan bahwa Thomas melakukan sejumlah tindakan kriminal berat. Demi menyelamatkan Bank Semesta, langkah penting yang harus dilakukan Thomas tentu saja adalah membawa lari Om Liem, yang merupakan tersangka utama dalam kasus tersebut. Maka jadilah Thomas seorang buronan besar, dikejar-kejar polisi, dipukul, ditembak, sempat masuk penjara juga, namun berhasil lolos lagi dengan berbagai cara. Haha. Membaca kisah ini membuatku jadi berpikir, Thomas ini sebenarnya jagoan atau bukan, sih?

Thomas disini tidak berjuang sendirian. Ia punya hobby bertinju, atau dalam cerita ini, istilah kerennya, bertarung, sehingga beberapa orang yang sempat dihajarnya di klub petarung itu menjadi temannya dan ikut andil bagian dalam usaha penyelamatannya. Adalah Rudy, tokoh yang bagiku paling berjasa dalam menyelamatkan Thomas di saat-saat genting. Aku suka Rudy, bahkan lebih suka ketimbang tokoh utamanya. Wkwk

Mengenai siapa dalang utama di balik semua kasus ini, sebenarnya kecurigaanku sudah mengarah ke salah satu orang. Pada akhirnya aku benar, ternyata dialah orangnya (sorry, gak mau spoiler). Si dalang tidak turun tangan langsung, namun menggunakan orang lain sebagai pion permainan, termasuk dua polisi itu juga. Di akhir kisah, walau dua polisi dan penjahatnya berakhir tragis, namun sang dalang belum tertangkap. Dan saat menyadari itu, aku jadi kesal sendiri kenapa membaca kisah dengan akhir menggantung begini. Hag hag

Oke, kita kasih review sedikit. Aku suka tema kisah yang diangkat, ekonomi. Perbankan pula. Banyak istilah yang tidak ku kenal, tapi lewat buku ini aku belajar sedikit demi sedikit. Kalau tidak salah, kata kakakku, Tere Liye itu bekerja sebagai akuntan, maka bukanlah suatu keanehan bila ia tahu banyak tentang perekonomian Indonesia dan gejolaknya, sehingga bisa membuat novel hebat semacam itu.

Aku juga suka intensitas kisah yang padat. Seperti yang ku bilang di atas, setiap detik berharga. Baru aja si Thomas nelpon kalo dia akan segera berangkat ke kota A, belum sempat pergi ia sudah ditangkap polisi aja. Haha. Pokoknya alurnya benar-benar tidak ketebak. Semua kejadian seakan berjalan begitu cepat. Tidak ada satu pun kegiatan yang tidak penting, semua pasti saling berhubungan. Bahkan saat ia bertabrakan dengan tokoh yang cuma sekilas lalu pun, adalah sesuatu yang sebaiknya jangan kita lewatkan. Ah, benar-benar salut.

Kemudian, dalam kisah ini aku sedikit belajar tentang bagaimana sebenarnya keadaan ‘di balik layar’ dunia hukum Indonesia. Ternyata semuanya benar-benar bisa dibeli dengan uang. Ternyata seseorang yang masuk penjara bisa dengan mudahnya keluar hanya dengan menyediakan uang dua milyaran ‘saja’. Ternyata orang-orang yang memiliki jabatan tinggi itu memang perlu dicurigai, apa benar ia mendapatkan kedudukan itu dengan jalan lurus. Dan banyak lagi hal-hal yang semakin ku membacanya, semakin sadar ku betapa bobroknya kualitas hukum di Indonesia. Bahkan meski itu cuma cerita fiksi, aku yakin beliau juga menulisnya berdasarkan realita yang beliau lihat, atau setidaknya dengar, di Indonesia. Sungguh memalukan, membuatku semakin tidak percaya saja dengan orang-orang yang memiliki nama-nama besar.

Terakhir, aku mau mengomentari gaya penulisan beliau. Gaya tulisan ini sungguh berbeda dengan novel Tere Liye yang ku baca sebelumnya, Bidadari-Bidadari Surga. Mungkin karena temanya yang lebih berat, tentang perekonomian, sehingga bahasanya lebih mutakhir juga. Tapi bukan itu saja yang ku perhatikan. Kalau ku tilik lebih jauh, membaca novel beliau ini, aku merasa seperti membaca sebuah novel terjemahan. Novel semacam Trio Detektif dan semacamnya. Atau bila diartikan lebih jauh, seakan membaca novel berbahasa asing sungguhan. Dalam kasusku, manga/komik misalnya. Kenapa?

Ada beberapa kata, yang ku pikir akan sangat aneh diucapkan dalam percakapan bahasa Indonesia, tapi banyak digunakan dalam novel ini. Contoh yang paling banyak adalah kata ‘Astaga’ yang ada di awal kalimat dan kata ‘Hei’ yang ada dipertengahan kalimat. Saat membaca kalimat semacam itu, aku benar-benar berfikir bahwa novel ini seakan bukan ditulis oleh orang Indonesia. Meski tentu saja, ada banyak memang yang percakapnnya Indonesia banget. Tapi satu dua bagian yang sedikit itu, entah mengapa jadi begitu berkesan di dalam hati.

Kalau disuruh memberi rating untuk novel ini, ceritanya ku kasih 4.5/5, sedang gaya tulisannya 4/5. Kenapa ku tidak kasih nilai sempurna? Karena ku tidak sampai niatan begadang untuk menyelesaikannya macam kakakku. Wkwk. Anyway, ini novel yang bagus dan berbobot. Kalian tidak akan rugi membacanya.

Post a Comment

0 Comments