Nao membuka loket sepatunya. Melepas sepatu hitam yang sedari tadi ia kenakan, mengambil sepatu putih yang ada di loket itu, meletakkan sepatu hitam yang dilepaskannya ke dalam loket, mengenakan sepatu putih yang tadi diambilnya, lalu menutup loket itu.
Ah, rutinitas pagi yang tidak menarik untuk diceritakan.
Sudah seminggu berlalu semenjak Nao ‘menembak’ Kamiki, dan sejak itu pula Nao tak lagi berurusan dengan cowok tersebut. Nao kembali sibuk dengan aktivitas sehari-harinya: belajar, kerja sambilan, belajar, tanpa sibuk memikirkan hal lainnya.
Sepertinya ia bahkan benar-benar lupa bahwa ia pernah berhadapan dengan cowok paling populer di sekolah itu.
Mirai dan Maria masih tetap sibuk membicarakan Kamiki dan siapa cewek selanjutnya yang cukup ‘kasihan’ menjadi korban patah hati karena di tolak Kamiki. Sayangnya Nao tak lagi begitu memperhatikan urusan itu. Ujian semester sebentar lagi dimulai, dan ia jadi semakin sibuk saja bolak balik ke perpustakaan, meninggalkan Mirai dan Maria yang masih larut dalam angan-angan dan fantasinya.
Semester ini, Nao ingin berusaha sebaik mungkin agar bisa melampaui Takeru.
Hari ini pun, segera setelah lonceng pulang berbunyi, Nao meluncur mulus menuju perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Seharusnya saat pulang sekolah seperti ini perpustakaan tidaklah begitu ramai. Namun berhubung sekarang musim ujian, rasanya perpustakaan menjadi semakin padat saja.
Terlebih hari ini, perpustakaan tampak lebih ramai dari biasanya, entah mengapa.
Nao tak peduli. Ia segera mengambil tempat duduk yang agak di pojokan dan terlihat sepi. Setelah meletakkan buku catatannya, ia berjalan-jalan menyusuri rak sebentar. Mengambil sebuah buku Bahasa Inggris, lalu kembali ke tempat duduknya.
Ia membolak-balik buku itu. Yosh, saatnya belajar.
Meski begitu, suka tak suka, suasana perpustakaan yang memang lebih berisik dari biasanya membuat konsentrasi Nao menjadi sedikit buyar. Ia tak mau tahu tentang apa sumber keributan itu. Yang ia inginkah adalah bisa belajar dengan tenang. Diambilnya sebuah i-Pad dari dalam kotak pensilnya. Di pasangnya headset di kedua telinganya, dan dipilihnya salah satu lagu yang mungkin cocok menjadi pembuka pelajaran hari ini. Play!
Ah, sekarang di dunia ini benar-benar hanya ada dirinya dan buku bahasa Inggris di depannya.
Nao terus asyik mempelajari tentang perbedaan adjective dan adverb dalam bahasa Inggris, sampai seorang murid yang tiba-tiba mengambil tempat duduk di sebelah kirinya mau tak mau sedikit membuyarkan konsentrasinya. Nao melirik sejenak. Cowok itu memiliki rambut berwarna agak kemerahan, di daun telinga kirinya ada sebuah anting, dari samping bisa terlihat dengan jelas bahwa cowok itu memiliki sepasang alis yang tebal, dan dari balik seragam musim panasnya tersembul sebuah kalung yang melingkar di lehernya. Nao mengernyitkan alis.
Siapa?
Cowok itu balik menoleh, tersenyum. Nao memasang tampang dingin, bingung. Tanpa mengubah ekspresinya Nao segera membuang muka, lalu sibuk kembali menekuni buku bahasa Inggris yang ada di hadapinya. Belajar.
Cowok itu tersentak kaget. Sedikit kesal karena dicuekin, namun disisi lain sepertinya sudah menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi.
Jangan bilang cewek ini sudah lupa pada cowok yang ditembaknya seminggu yang lalu?
Cowok yang tak lain dan tak bukan adalah Kamiki itu memperhatikan buku yang tengah dipeolototi Nao, memperhatikan sebuah cincin perak yang ada di jemari tengah gadis itu, dan melirik headset putih yang kini menutupi kedua telinga gadis itu.
Sebuah ide usil terlintas di pikirannya.
Tanpa pikir panjang diulurkannya tangannya ke belakang kepala Nao, lalu mencabut headset yang ada di telinga kanan gadis itu. Nao sedikit terkejut saat merasakan telinganya agak geli. Ia menoleh ke kanan sejenak, lalu menoleh ke kiri lagi saat sadar disanalah si pembuyar konsentrasinya tengah berada. Dengan cuek Kamiki memasang headset yang tadi dilepasnya ke telinga kanannya, lalu mengangguk-angguk mengikuti irama lagu, mencoba mengenali siapa penyanyinya.
“Ikimono... Gakari?”
Kamiki berpaling ke arah Nao. Nao memandangnya balik. Keningnya berkerut. Di satu sisi ia heran dan ingin marah atas apa yang ingin cowok itu lakukan, tapi di sisi lain ia merasa bahwa wajah cowok itu terasa tidak asing baginya.
Nao memutar pikirannya, mencoba membuka databese memory lama dan membongkar kembali recycle bin yang ada di otaknya. Cowok ini, apa wajah ini pernah tersimpan sepersekian detik saja di dalam memori otaknya?
“Ah,” Nao menjentikkan jarinya saat salah satu jaringan syaraf di otaknya mengantarkan informasi tentang siapa cowok dihadapannya tersebut. “Kamiki.”
Kamiki menggeram sambil menggigit bibirnya, mencoba menahan kesal. Ternyata benar, cewek ini memang sudah lupa siapa dirinya. Apa-apaan ini? Baru kali ini ada orang yang sampai lupa tentang siapa dirinya walau mereka baru bertemu seminggu yang lalu.
Cewek ini, sepertinya memang tak berniat untuk berurusan dengannya lagi.
“Namaku bukan Ikimono Gakari,” ucap Nao kemudian seraya berpaling, kembali sibuk menekuni buku pelajarannya.
“Aku tahu,” ucap Kamiki sedikit kesal, setengah berbisik. “Namamu Nao, kelas 2E. Kau selalu peringkat dua dalam ujian semester, dan sahabat baik yang kau maksud kemarin adalah Maria dan Mirai, benar kan?”
Nao berhenti menulis, mengalihkan pandangannya pada Kamiki, menatapnya dengan perasaan jijik.
“Stalker.”
“Hah?”
Nao segera menarik headset yang menutup telinganya dan telinga Kamiki, menutup bukunya, berdiri, dan berjalan menuju meja peminjaman, meninggalkan Kamiki yang masih terheran-heran dengan apa yang barusan gadis itu katakan, dan apa yang sedang gadis itu lakukan.
“Terima kasih.”
Nao membungkuk hormat pada petugas perpustakaan yang mengurus proses peminjaman bukunya. Tanpa berlama-lama Nao segera keluar dari perpustakaan, meninggalkan Kamiki seakan dia bukanlah sesuatu yang mesti ia cemaskan.
Pada kenyataannya memang tak ada barang yang ia lupakan disana.
Mirai dan Maria sudah pulang duluan semenjak tadi. Hari ini Nao pulang sendiri, tapi itu tak jadi masalah baginya. Nao melepas sepatu putih yang dikenakannya, membuka lokernya, mengambil sepatu hitam yang ada di dalamnya, meletakkan sepatu putih yang tadi dikenakannya, dan memasang sepatu hitam di kedua kakinya.
Ya, saatnya pulang.
“Tunggu dulu!”
Nao mendengar sebuah suara panggilan dari belakang, tapi ia tak menoleh. Sepertinya itu suara Kamiki, tapi mungkin panggilan itu tidak ditujukan untuknya. Ia cuek, dan berjalan mulus melewati pintu pagar sekolah.
“Hei, ku bilang tunggu dulu!”
Nao menghentikan langkah saat dirasakannya ada cengkeraman tangan erat di pergelangan tangan kirinya. Nao mengaduh perlahan, lalu menoleh. Dilihatnya sosok Kamiki yang tengah berdiri di belakangnya dengan nafas terengah-engah. Ia menyapu keringat yang mulai menetes di pelipisnya.
Kenapa cowok ini berlari?
“Ada apa?” tanya Nao seraya melepaskan cengkeraman tangan cowok itu, datar.
Kamiki masih berusaha mengatur nafasnya, sambil menatap cewek di hadapannya dengan tatapan tak percaya.
Sialan, sudah teriak-teriak memanggilnya dari tadi dan mesti pake acara lari-lari juga, resepon cewek itu malah datar begitu!
“Ada yang harus ku sampaikan padamu,” ucap Kamiki akhirnya, setelah jantungnya dirasa sudah mulai kembali memompa darah dengan volume normal.
Nao membetulkan posisi tubuhnya, menghadap lurus ke arah Kamiki. Kepalanya sedikit menengadah, menatap wajah cowok itu. Diam, tengah menunggu.
Baik, silahkan sampaikan.
“Aku ingin memberi jawaban atas penembakan yang kau lakukan padaku seminggu yang lalu,” ucap Kamiki kemudian.
Kening Nao mengkerut. Kenapa mesti mengungkit hal lama seperti itu.
“Aku tak memerlukan jawabanmu,” jawab Nao.
Kamiki terdiam. “Kenapa?”
“Pada dasarnya aku menembakmu adalah karena ku ingin melindungi sahabatku. Sekarang sepertinya dia sudah tak ada lagi niatan untuk menembakmu, jadi ku rasa ku tak perlu membuktikan padanya apakah kau homo atau tidak,” jelas Nao jujur.
“Heh,” Kamiki tersenyum sinis. “Sayangnya aku bersikeras ingin memberikan jawabannya padamu,” nada bicaranya sedikit mengancam, membuat Nao menarik kepalanya sedikit kebelakang.
Nao mundur selangkah. Sedikit takut. Ada apa dengan cowok ini? Apa dia sebegitu inginnya menolak dirinya? Toh itu tak akan ada pengaruhnya bagi perasaannya.
“Kau ngotot ingin menolakku rupanya? Silahkan. Tenang saja. Meski menolakku, aku tak akan buat pengumuman bahwa kau seorang homo.”
Hmph.
“Justru sebaliknya.”
Nao terdiam. Kamiki menatapnya tajam. Tangan Nao mulai bergetar.
Sebuah firasat buruk tiba-tiba terlintas di pikirannya.
“Aku bersedia berkencan denganmu.”
....
Kamiki tersenyum menang. Nao menatap wajah itu dengan perasaan berkecamuk.
Skenario terburuk yang sebelumnya ia acuhkan ini akhirnya kejadian juga.
0 Comments