JSON Variables

Header Ads

Pesantren Impian, Membuka Mimpi Lama sebagai Seorang Seniman

Akhir-akhir ini aku jadi sering baca buku. Setelah sekitar seminggu yang lalu ane kena ‘musibah’ laptop rusak, aku mulai berusaha mencari kegiatan pengganti ‘mantengin laptop’ yang selalu ku lakukan selama ini. Muter music, bosan. Denger radio, sama aja kayak muter music. Nonton tivi, cuma seru gonta-ganti channel. Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke hobi lama: ngebaca buku. Hehe
Tapi aku juga sadar diri kalo aku bakal mudah ngantuk, bosen dan gak banyak yang ku tangkep kalo ngebaca buku bacaan yang berat. Jadi ku putusin baca buku yang ringan-ringan aja. Berhubung minatku adalah sejarah dan psikologi, ku baca deh buku yang berhubungan dengan itu berdua. Nah, berkat baca buku yang berbau psikologi alias motivasi, ane jadi lebih semangat dalam membuat kehidupan lebih bermakna. Jadilah kan kayak sekarang buktinya, ane jadi kembali rajin ngeblog. Haha
Ane juga ada rencana buat ngebaca novel untuk menambah khasanah pengetahuan ane tentang gaya penulis para novelis besar. Kan ceritanya ane pengen jadi novelis juga. Tapi kendalanya adalah dari dulu ane males nulis n malas baca. Bawaannya iri aja gitu kalo baca novel orang yang sudah terbit, jadinya gak mau ngebaca. Gkgk. Tapi sekarang ane udah insyaf. Ane mau baca buku novel juga. Di rumah kebetulan novelnya bang Tere Liye bertumpuk (koleksi kakak ane), nanti ane coba baca.
Ternyata dan tak dinyana, Emma, anak yang tinggal di sebelah kamar ane menawarkan sebuah novel karangan Asma Nadia berjudul Pesantren Impian. Tentu saja dengan senang hati ku terima. Terus tadi, waktu bertugas jadi penjaga piket di sekolah tempat ane PPL, ku habiskanlah waktu dengan membaca novel itu. Dimulai dari jam setengah delapan pagi, terus membaca diselingi ngobrol en canda ama temen, sebelum tengah hari ane usah menamatkan novel itu. Waw!
Sumber: tokopedia.com
Jadi ceritanya disini ane mau nulis review sedikit tentang novel itu. WARNING: SPOILER ALERT! Di review ini aku bakalan menulis beberapa bagian cerita yang sepertinya akan ‘membahayakan’ bagi orang yang belum pernah membacanya. Haha. Jadi tanggung sendiri akibatnya, manu diterusin ngebaca ato tidak.
Jujur aja, waktu pertama dengar judulnya Pesantren Impian, terus baca synopsis di belakang buku dengan setengah hati, ane pikir ni cerita bakal kaya Battle Royale. Ternyata dugaanku meleset jauh. Nyahaha. Ceritanya gak sesadis Battle Royale kok, tentu saja, walo tidak luput dari unsur kriminalitasnya.
Pesantren Impian merupakan sebuah pesantren tersembunyi, yang cuma menerima murid dengan cara memberi undangan pada orang tertentu. Orang yang dipesantrenkan adalah orang yang bermasalah dalam hidup. Kebanyakan kasus narkoba. Nah, mereka dikumpulan di pesantren tersebut selama setahun penuh agar kelak bisa kembali ke masyarakat sebagai orang yang lebih baik.
Tokoh utama dalam kisah ini adalah si Gadis. Itu adalah sebuah julukan yang penulis berikan karena tidak ingin membeberkan identitas sang tokoh utama dari awal. Keasyikan saat membaca kisah ini adalah kala kita mencoba menebak-nebak siapa tokoh Gadis itu. Jujur aje lo, waktu ngebaca halaman terakhir buku itu, ane mesti baca berkali-kali ampe yakin kalo sosok Gadis yang selama ini bikin penasaran adalah si dia. Benar-benar samar, gak ada kecurigaan sama sekali. Aduh, dibilangin gak ya siapa si Gadis itu? Ehehe…
Tapi justru itulah yang bikin novel ini special. Ceritanya tidak hanya mengisahkan kehidupan para muda mudi tersesat yang pengen kembali ke jalan yang benar, tapi ada unsur misteri yang membuat pembaca ikut menebak-nebak tentang beberapa tokoh misteri di dalam buku ini. Tokoh misteri pertama adalah siapa itu Teungku Budiman, pemilik Pesantren Impian. Tokoh misteri kedua adalah siapa orang yang memerkosa Rini, salah satu murid di PI. Dan tokoh misteri ketiga, tentu saja adalah siapa itu si Gadis. Sosok Teungku Budiman bisa ditebak dengan mudah di awal-awal kisah. Tokoh pemerkosa Rini pun, walo ku tidak tahu pasti siapa orangnya, tapi aku yakin kalo si tertuduh utama bukanlah tersangka sebenarnya. Sementara untuk tokoh si Gadis, asli, aku benar-benar luput memperhatikan petunjuknya. Padahal kalau ku perhatikan, saat tokoh si Gadis muncul, ada satu tokoh yang namanya jarang di sebut (dialah si Gadis itu). Tapi keberadaanya samar karena si dia sering berduaan ama sahabatnya. Jadi ku pikir kalo sahabatnya itu muncul, ya sudah mewakili si dia juga. Hahaha. Gue mulai ngomong gak jelas dah. Kalo mau tahu siapa ‘beliau-beliau’ itu, silahkan baca langsung novelnya. XD
Dan, tentu saja, sebagai sebuah novel ‘Indonesia banget’, unsur romancenya juga ada kok. Kalo ngeliat gimana kisah cinta Teungku Budiman dan si Gadis, sebenarnya ku pikir, ‘Owalah, sinetron bingitz.’ Bukan apa-apa. Bahkan meskipun si Gadis punya jejak criminal yang ‘anggun’, tetap saja sosok aslinya cuma gadis biasa-biasa. Sedangkan Teungku Budiman digambarkan sebagai orang kaya yang ‘tampan’ pula. Cerita cinta di novel ini benar-benar menjual mimpi untuk para cewek yang wajahnya biasa-biasa aja (macam saya, wkwk) agar tidak berhenti berdoa semoga seorang pangeran tampan akan menghampirimu suatu hari nanti. Wahaha. Kidding!
Overall, aku puas dengan ceritanya. Meski begitu, seperti yang sudah ku tulis di awal, tujuanku membaca novel bukan cuma sekedar menikmati kisahnya, tapi juga memperhatikan teknis penulisnya. Sebelumnya, aku pernah membaca salah satu novel Tere Liye, dan ku pikir teknik menulis beliau benar-benar futuristic. Sementara saat aku membaca novel Asma Nadia, ku rasa gaya bahasanya benar-benar biasa. Biasa dan mengalir, dengan bahasa yang mudah dicerna, metafora yang tidak begitu berlebihan, tapi disitulah sisi uniknya. Dalam novel itu Asma cuma menuliskan apa-apa yang penting, tidak begitu mencoba menonjolkan gaya penulisan yang penuh dengan deskripsi panjang lebar yang –sebenarnya- tidak begitu penting (seperti kebanyakan cerita yang ku tulis). Tapi itu semua tidak mengurangi keindahan cerita. Cerita tentap runtut, nyambung, dan indah serta bermakna.
Setelah membaca novel Asma Nadia aku jadi berpikir. Sebenarnya, gaya menulisku lebih dekat ke Asma Nadia. Dulu, waktu ku ngebaca novel Tere Liye dan dihadapkan dengan gaya penulisannya yang futuristic, tiba-tiba aku jadi minder sendiri. ‘Ah, aku tak punya kemampuan berbahasa sehebat beliau,’ begitu pikirku. Tapi sewaktu ngebaca novel Asma, tiba-tiba semangatku kembali muncul. Setidaknya sekarang aku bisa lebih percaya diri, dengan meyakinkan diri bahwa gaya penulisanku tidaklah buruk. Itu adalah gayaku, dan harus ku hargai itu. Yang perlu ku perbaiki cuma teknik menulisku saja. Gimana caranya ‘merelakan’ membuang adegan-adegan tidak penting, itu yang sampai saat ini masih susah ku lakukan. Tapi kalo ku berusaha, ku rasa itu bukan hal yang mustahil.
Yosh, hanya dengan membaca satu novel, semangat mengarangku mulai naik satu tingkat. Besok-besok kalo ngebaca lebih banyak novel, ku harap tangan ini mulai tergerak untuk menuliskan ceritaku sendiri. Ganbarimasu!
Buat yang sudah ngebaca novel Pesantren Impian, silahkan sharing pendapat kalian! :D

Post a Comment

0 Comments