“Tidak biasanya.”
Putri mengangkat kepalanya, menatap Pres dengan perasaan bingung. Hari ini mereka berdua kembali makan ‘bersama’ di tempat biasa, masih dengan suasana diem-dieman ala pasangan yang tengah bertengkar. Semenjak datang tadi mereka tidak saling bertukar sapa. Namun saat hidangan sudah ada dihadapan mata, Pres memulai percakapan dengan kalimat pembuka yang terasa aneh: tidak biasanya.
Tidak biasanya.
“Apanya?” tanya Putri melanjutkan pembicaraan.
Pres tidak langsung menjawab, namun menyeruput sesendok rawon yang ia pesan terlebih dulu. Putri menunggu sabar.
“Baru kali ini aku bertemu denganmu disini dua hari berturut-turut.”
Putri tersadar. Selama ini ia memang tidak bertemu dengan Pres tiap hari, namun setiap dua kali sekali. Ia pikir Pres tidak menyadari hal itu, ternyata nih cowok peka juga.
“Oh,” Putri menyahut pendek. “Biasanya aku puasa.”
Press urung memasukkan sesendok rawon ke dalam mulutnya demi mendengar jawaban Putri. Dipandangnya gadis di hadapannya lekat-lekat. Putri cuma bisa menebak-nebak apa yang ada di pikiran cowok itu. Mungkin Pres berpikir, apa ia tidak tengah salah dengar, cewek di depannya yang tak ada penampilan alim-alim banget, karena Putri memang tidak mengenakan hijab, barusan mengatakan bahwa ia terbiasa berpuasa?
“Bayar hutang?”
….
Putri berdehem, memastikan makanan yang sudah masuk ke mulutnya tidak keluar lagi, mencoba mencegah insiden sebelumnya terlang kembali demi mendengar pernyataan Pres barusan yang begitu ‘lantang’.
“Bukan,” Putri menggelengkan kepalanya. Makanan didalam mulutnya sudah masuk dengan aman ke dalam tenggorokan. “Daud.”
Pres terdiam sejenak, lalu ber-“Oh,” singkat mendengar jawaban Putri.
Putri menatap Pres dengan tatapan selidik, mencoba menganalisis maksud kata Oh pendek yang barusan ia lontarkan. Apakah kata itu merupakan wujud ungkapan bahwa ia sudah mengerti, ataukah ia sudah mendapatkan jawaban dan itu sudah cukup. Dari penampilan, Putri sendiri tidak bisa menebak dengan jelas apa kepercayaan yang dianut oleh cowok didepannya itu. Penampilannya oriental, mungkin ada keturunan China, tapi itu tidak bisa menjadi penentu apa keyakinannya. Selanjutnya namanya, Pres, singkat sekali. Tidak ada gambaran kepribadian sama sekali yang tergambar di nama itu.
Hmm, misteri.
“Jadi sekarang kau sedang haid?”
Uhuk uhuk!
Kali ini Putri gagal menyelematkan makanan yang ada di mulutnya ketika mendengar pertanyaan yang super lantang dari mulut Pres. Ia memusut-musut dadanya, sembari menatap Pres dengan tatapan tak percaya. Yang di tatap balik menatap balik, dengan tampang serius, seakan tak ada yang salah dengan pertanyaannya dan ia dengan sabarnya menunggu jawaban ‘jujur’ dari Putri.
“Kau bisa simpulkan sendiri jawabannya, bukan?” Putri balik bertanya sambil mencoba mengendalikan perasaannya.
Pres manggut-manggut seakan memasang tampang sedang berpikir. “Yeah, ku rasa bisa ku simpulkan sendiri.”
Putri menghela nafas. Baguslah. Sudah, jangan dibahas lagi masalah sensitive wanita itu. Lebih baik nikmati makanan yang ada dihadapanmu dan jangan banyak cincong lagi.
“Kau memang tengah haid.”
***
Dalam empat hari berturut-turut ini Putri menikmati makan siangnya bersama dengan Pres. Meski begitu, bukan berarti hubungan mereka berdua telah naik level ke tingkat sahabat. Mereka masih tetap jarang melempar kata, dan Putri tidak ingin memulai pembicaraan bila memang tidak ada yang penting. Pres hanya sesekali bicara mengenai satu dua hal, dan Putri pun akan menjawab seadanya.
Bila dibandingkan dengan permainan bola, percapakan mereka berdua bagaikan permainan bola ping pong amatiran dimana bola cuma bisa bertahan di atas meja satu dua pukulan. Saat menyadari bahwa mereka berdua tidak berbakat dalam bidang permainan ini, kedua pemain akhirnya memutuskan untuk berhenti memukul bola dan memutuskan mengubah meja tenis menjadi meja makan.
Siiiiiiiing….
Pres menutup teleponnya, setelah sebelumnya sibuk bicara dengan lawan bicaranya dengan Bahasa Perancis. Putri tidak mengerti apa-apa tentang bahasa itu, jadi meski ia menguping sekalipun, tetap saja ia tidak akan mengerti.
“Besok aku tidak bisa menemanimu makan.”
“Eh?”
Putri mengangkat kepalanya, sedikit terkejut dengan ‘kalimat pembuka’ pembicaraan mereka hari ini.
“Aku harus pergi ke luar pulau selama tiga hari ke depan. Ada pertemuan dengan klient penting yang akan datang ke kantor pusat,” Pres menjelaskan tanpa diminta, membuat Putri cuma bisa ber-“Oh,” pendek sebagai wujud ekspresi, “Oke, aku mengerti.”
Tapi kalau dipikir-dipikir, kenapa pula ia mesti melaporkan masalah ini kepada Putri. Meski mereka teman makan, bukan berarti Pres mempunya kewajiban untuk melaporkan kemana saja ia mesti pergi, sebagaimana Putri tidak punya kewajiban untuk melapor ke Pres bila ia tidak bisa datang makan siang.
Namun kalau ditelaah lagi, Putri baru sadar kalau selama ini, dikala makan siang, ia selalu’ditemani’ oleh Pres. Bila Pres tidak ada, mungkinkah ia akan merasa kesepian?
“Jaga baik-baik tempat duduk ini selama aku pergi.”
Putri tersadar dari lamunannya saat mendengar pesan Pres barusan. Ia tersenyum kecut, memangnya siapa pula yang ingin mengambil tempat ini?
Tiba-tiba sebuah pertanyaan iseng melintas di benaknya.
“Jadi, kalau seandainya aku ingin datang ke tempat ini untuk membawa teman…”
“Tidak boleh.”
Jleb! Jawaban yang begitu mengintimidasi.
0 Comments