JSON Variables

Header Ads

Seratus Hari Berlalu Semenjak Hari Itu, Mari Putar Kembali Kenangan Lama yang Mungkin kan Terlupa

Tak terasa, sudah lebih dari seratus hari berlalu semenjak kepulangan abah ke rahmatullah. Kami mengadakan acara peringatan seratus hari yang lalu haris Senin terakhir, karenanya aku berniat untuk menulis kenangan tentang sosok abah. Aku memang sudah dari dulu berniat menulis ceritaku tentang beliau, namun tertunda karena kemalasan. Meski begitu, tadi saat ku melihat kembali foto abah, tiba-tiba tangan ini tergerak begitu saja, untuk menuliskan sepenggal kisah tentang abah tercinta.

Kalau boleh jujur, aku bukanlah anak yang dekat dengan abah. Bahkan bisa dibilang, yang paling renggang sepertinya. Abah bersikap keras kepala, dan aku menuruni sikap itu, sehingga kalau kami berselisih paham, makan akan susah sekali berbaikan. Ah, mungkin bukan beliau yang keras kepala, aku saja yang gengsi untuk mulai bicara.

Aku ingat sekali, kejadian semasa ku masih MAN dulu. Kala itu aku berniat ingin masuk UNLAM, namun ibu menyarankan agar aku masuk IAIN saja, karena keuangan kami tidak memungkinkan. Abahku juga bilang, mending masuk IAIN yang ada ilmu agamanya. Mengetahui hal itu, aku ngambek mogok bicara dengan abahku, hampir sebulan penuh rasanya. Padahal setiap berangkat sekolah, aku selalu nebeng abah, setelah turun dari kendaraan aku mencium tangan beliau, namun tak ada satu patah kata pun terucap kepada beliau. Termasuk di rumah, aku tak pernah memulai bicara dengan beliau. Ku diamkan saja saat aku beliau bicara denganku, saat kami cuma ada berdua, aku segera undur diri masuk ke kamar, pokoknya ku usahakan untuk tidak melakukan interaksi dengan beliau.

Abah tentu saja menyadari hal itu, sehingga beliau yang awalnya mencoba mengajakku berbaikan, akhirnya mulai marah juga dan balik mendiamkanku. Kami saling diam-diaman, tanpa ada yang mau memulai bicara. Sampai suatu hari, dalam perjalananku menuju sekolah, abah tiba-tiba saja menghentikan motor beliau. Beliau menyuruhku turun dan menanyakanku, ada apa denganku. Kenapa aku tidak mau bicara dengan beliau, kalau ada masalah, bicarakan baik-baik. Kala itu, aku benar menangis tersedu. Tak tahu mengapa, aku merasa, mungkin itulah yang sebenarnya ku tunggu-tunggu. Abah mengajakku bicara, dan dalam hati terdalam, aku sungguh bahagia meski air mataku berlinang tanpa henti. Ku ungkapkan keinginanku tentang masuk UNLAM, dan ayah menyanggupinya selama aku lulus ujian. Hingga kini, tempat dimana ayah berhenti di pinggir jalan itu menjadi tempat yang cukup bersejarah bagiku. Tiap kali ku melewatinya, kenangan tentang bagaimana aku dan ayah bisa bicara dari hati-hati di hari itu kembali terulang. Aku tahu, abah sungguh orang yang baik. Aku saja yang super keras kepala.

Semenjak itu, masih sering juga ku dapati konflik-konflik kecil dengan abah. Suatu hari, pernah aku kesiangan bangun subuh sampai hampir jam tujuh, dan abah mengetahuinya. Kala itu abah marah besar, dan memperingatkanku habis-habisan. Hari itu aku sendiri juga sebenarnya bingung, bagaimana bisa aku kesiangan. Padahal biasanya aku selalu bangun pagi. Setiap ada kesempatan abah mengungkit kesalahan itu. Hal itu membuatku sedikit kesal, namun dalam lubuk hati terdalam, aku tahu itu adalah bentuk kasih sayang beliau pada anaknya.

Semenjak menuntut ilmu di Banjarmasin, frekuensiku berkomunikasi dengan ayah semakin berkurang. Bisa dibilang, aku sudah terbiasa dengan ketidakberadaan abah disekitarku. Meski begitu, bila ku pulang ke rumah, abah tidak sungkan mendengarkan cerita-cerita yang ku bawa dari kampus. Pada dasarnya, aku tahu abah adalah pendengar yang baik, dan terkadang kala ngobrol-ngobrol itulah beliau memasukkan satu dua pelajaran tentang kehidupan dan agama. Ya, abah memang seorang guru agama di sekolah. Di kampungku pun beliau selalu dipanggil dengan sebutan guru, karena beliau selalu menjadi imam langgar.

Bicara masalah langgar, abah adalah orang yang cukup rajin pergi ke langgar. Harus ku akui, langgar kami itu, walau berada di pinggir jalan, jarang sekali penduduk yang mendatanginya. Sehingga ayahku, yang merasa bertanggung jawab sebagai seorang penduduk kampung, meluangkan waktu untuk datang ke langgar setiap subuh, maghrib dan isya. Beliau yang azan, yang jadi imam, serta yang menyalakan listrik dan ledeng. Pada akhirnya, beliau bahkan di angkat menjadi bendahara langgar. Sampai akhir hidupnya abah menolak menjadi ketua langgar, dengan alasan jabatan ketua merupakan sesuatu yang berat dipikul.

Seperti ku bilang di atas, abah adalah seorang guru agama. Beliau mengajar di sebuah SD di Kabupaten Tanah Laut, yang tentu saja jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalku. Dulu, jarak tempuh yang abah tempuh sekitar satu jam, tapi setelah beliau diberi izin pindah, jaraknya menjadi lebih mendingan, meski sama-sama di Kabupaten Tanah Laut juga. Jarak jauh yang ditempuh itu, cuaca dingin di pagi hari plus jalanan yang tidak mulus, membuat abah cukup rentan terhadap penyakit. Penyakit yang paling utama tentu saja, pegal-pegal. Kalau sudah begini, maka mama akan dengan senang hati memijit abah. Perjalanan jauh dan udara pagi dingin tersebut juga membuat ayahku menderita penyakit paru-paru basah, sehingga beliau pernah berulang kali masuk rumah sakit untuk berobat. Penyakit tersebut tampak tidak berbahaya, tapi sudah membuat mama cemas luar biasa. Untungnya, kala itu lendir yang ada di paru-paru abah bisa disedot. Tapi masalah tidak hanya sampai disitu. Abah juga menderita penyakit diabetes, karena kebiasaan abah yang suka minum yang manis-manis. Abah yang menyadari hal itu segera beralih ke gula rendah kalori. Kadar gula beliau sebenarnya sudah cukup tinggi, sehingga abah juga tidak segan meminum ramuan alami yang menurut beliau bisa mengobati penyakit. Mulai dari ramuan dedaunan sampai semut Jepang, pernah masuk ke perut beliau. Pada akhirnya, kadar gula beliau tetap turun naik, sehingga abah tetap berusaha hati-hati dalam memilih makanan dan minuman.

Kembali ke kisah hubunganku dengan abah. Tidak seperti keluarga kebanyakan yang hari raya idul fitri dilalui dengan salam-salaman penuh air mata, salam-salaman di keluargaku tampak seperti formalitas saja. Saat hari raya, aku bersalaman dengan abah dan mama, namun cuma terasa di mulut saja. Meski begitu, ada satu kejadian yang menurutku cukup menyentuh mengenai sesuatu yang tampaknya sederhana saja. Tidak ada hubungannya dengan maaf-maafan sih, kejadiannya kala itu waktu ulang tahun abahku. Tiba-tiba saja, kala itu aku yang tengah berada di dapur, tergerak untuk memanggil abah yang kebetulan tengah masuk ke dapur.
“Abah,” panggilku.
“Hmm?” beliau menoleh.
“Selamat ulang tahun,” ucapku sambil tersenyum.
Abah ikut tersenyum balik. “Apa doanya?” tanya beliau lagi.
Aku segera mendoakan dengan doa yang baik-baik. Ku bilang semoga panjang umur, semoga bisa naik haji, dan semoga sempat melihatku dan anisa menikah. Beliau cuma mengamini sambil tertawa-tawa. Beliau kemudian iseng nanya, apa aku sudah ada calonnya. Ku pun terbahak sambil menjawab tidak. Aku tidak menyangka, ucapan selamat sederhana itu membuatku hampir saja menangis. Aku tidak sadar bahwa ucapan selamat ulang tahun kepada orang terkasih bisa sebegitu menggetarkan hati. Tentu saja, kala itu ku tahan habis-habisan agar tidak menangis. Dan siapa sangka, ucapan selamat ulang tahun bulan Maret tahun ini menjadi ucapan selamat ulang tahun yang pertama dan terakhir ku ucapkan kepada beliau.

Dua bulan sebelum abah meninggal, beliau sudah menunjukkan tanda-tanda. Kala itu masih bulan sya’ban, namun abah sudah rajin-rajinnya mengaji Al-Qur’an. Padahal biasanya abah akan mengaji penuh di bulan puasa yang masih belum datang, kenapa malah mengaji di bulan Sya’ban duluan? Mama bilang, mungkin kala itu abah tengah menabung, karena sadar badan beliau sudah berkurang kesehatannya dan mungkin tidak akan sanggup beribadah penuh di bulan puasa yang sudah dekat itu.

Dan benar juga. Abah yang biasanya tidak pernah absen shalat di langgar, tiba-tiba saja malah sering shalat di rumah. Ku pikir cuma sakit biasa saja, karenanya aku cukup heran kenapa abah malah seakan ‘meremehkan’ shalat di langgar. Padahal, badan beliau memang hanya beliau yang tahu. Di bulan puasa itu, sepertinya abah memang merasa tidak akan sanggup lagi shalat ke langgar, apalagi kalau sampai disuruh menjadi imam. Karenanya abah memutuskan untuk shalat di rumah berdua dengan mama, berjamaah berdua.

Suatu hari, saat aku ada di rumah, abah menanyakan bagaimana nasib skripsiku. Ku jawab saja kalau belum selesai. Abah tampak tidak suka mendengar jawabanku sambil menanyakan apa saja yang aku kerjakan. Mendengar respon abah aku menjadi merasa marah. Tak berlama-lama aku kembali menghabiskan bulan puasa di Banjar, padahal tidak ada kegiatan penting yang ku lalui. Alasan klasiknya sih jelas: cuma kepengen mengindari pertemuan dengan abah.

Beberapa hari sebelum hari raya, aku pulang kembali ke rumah. Kala itu, aku terkejut luar biasa melihat perubahan fisik abah dibanding yang ku lihat sekitar dua mingguan lalu. Tubuh beliau sudah menjadi sangat kurus, kurus yang tidak biasanya. Beliau makan sedikit sekali, dan ternyata beliau sudah tidak sanggup lagi puasa. Jujur, aku sungguh tidak sanggup melihat keadaan beliau yang sungguh memilukan. Akupun segera menanyakan mama, kenapa beliau tidak dibawa ke rumah sakit saja. Mama menjawab, abah memang kepengen pergi ke rumah sakit, tapi nanti saja, setelah hari raya, karena beliau ingin bisa melewati hari raya di rumah bersama keluarga. Meski begitu, melihat kondisi fisik beliau yang sudah semakin mengkhawatirkan, membuat aku dan kakak semakin mendesak mama untuk membawa abah pergi ke rumah sakit. Akhirnya, dua hari sebelum hari raya, tepatnya hari Rabu, 15 Juli 2015, kami putuskan untuk merujuk abah ke rumah sakit Banjarbaru, berharap abah bisa mendapat perawatan lebih baik.

Pagi itu, kami semua bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Mama dan Anisa pergi ke puskesmas sejenak, untuk mengurus surat rujukan. Praktis di rumah kala itu cuma ada aku dan abah. Tiba-tiba saja abah memanggilku ke kamar, mengajakku untuk bicara. Kala itu sebenarnya aku sudah ada firasat, tapi aku mencoba menyangkalnya sekuat tenaga.

Abah duduk di ranjang, sementara aku duduk di lantai menghadap beliau. Dengan suara lemah, abah bertanya, “Coba pandang wajah abah, menurutmu bagaimana?”. Mendengar pertanyaan itu, aku sontak meraih kedua tangan beliau yang gemetaran sambil memangis, lalu menjawab. “Wajah pian masih bercahaya, Bah. Mata pian masih bersinar.” Aku terisak sambil mencium tangan beliau. Dengan suara yang masih lemah pula, abah berkata kalau sekarang kondisi beliau sudah sangat lemah, puasa dan mengaji sudah tidak sanggup lagi. Mengenai masa depan, beliau sudah tak tahu lagi. Aku yang masih memangis sesenggukan berkata sengau, kalau abah pasti akan panjang umur, karena abah masih belum naik haji. Meski abah sudah berumrah, tapi ayah masih belum berhaji, sehingga ku yakin beliau masih diperi umur panjang untuk melaksanakannya. Abah yang sepertinya sudah tak sanggup lagi untuk menangis, sesekali menyeka pelupuk mata beliau yang juga mulai basah melihatku sibuk menangis sesenggukan. Perlahan, beliau memberiku sebuah pesan. Pesan yang harusnya ku ingat, sekarang dan akan datang.
“Perbanyaklah mengaji, perbanyaklah membaca Qur’an, karena itulah kelak yang akan menolongmu di akhirat. Abah tidak akan bisa membantu apa-apa, perbanyaklah mengaji.”
Aku masih menangis sesenggukan sambil mencium tangan beliau, dan akhirnya keluarlah kata-kata yang dari dulu ingin ku ucapkan kepada beliau.
“Abah... maaf,” ucapku tertahan. Ya, maaf. Itu saja, kata itu, meski singkat dan terkesan sepele, susah sekali mengucapkannya dari hati yang paling dalam. Namun kala iti, aku bisa mengucapkannya sepenuh hati, ucapan maaf atas segala kesalahanku selama ini, semenjak ku kecil hingga konflik terbaru, semuanya ku mohonkan maaf untuk semuanya. Hari itu, tiba-tiba saja mulut ini bisa mengucapkannya tanpa beban. Kata maaf yang selama ini tersimpan untuk abah, hari itu bisa kusampaikan.
Kala itu, saat abah memberiku pesan untuk memperbanyak mengaji, kala ku bisa menyampaikan kata maaf dengan sepenuh hati, aku tahu bahwa umur hidup beliau tidak akan lama lagi. Meski begitu, hati ini tetap menyangkal. Saat ku tanya Anisa, bagaimana menurut beliau tentang penyakit yang abah hadapi, dengan ringan Anisa menjawab, itu cuma penyakit orang tua yang sudah sering abah hadapi, dan sebentar lagi juga sembuh. Untuk sejenak kata-kata Anisa itu membuat hatiku terasa lebih ringan, walau ternyata bukan begitu kenyataannya.

Abah dirujuk ke rumah sakit. Mama dan Anisa memutuskan untuk menginap di sana, sementara aku bertugas menjaga rumah. Hari raya idul fitri, meski berada di rumah sakit, kecemasan abah tidak terjadi, kami masih bisa berkumpul sekeluarga untuk melalui hari raya idul fitri dengan gembira di rumah sakit. Abah yang terbaring di atas ranjang, dengan selang oksigen di hidup beliau, tampak bicara dengan nafas tersengal setiap kali ingin menyampaikan sesuatu. Namun abah tetap masih ngotot untuk bicara, seakan masih banyak hal yang ingin beliau sampaikan kepada kami. Aku sebenarnya berharap abah tetap berbaring dengan tenang saja. Tapi meski di atas tidur sekalipun, beliau tetap saja ingin mengatakan banyak hal, bicara hal-hal wajar sebagaimana saat beliau sehat.

Hari raya kedua, keluarga di Bawahan datang berkunjung ke rumah sakit menjenguk abah. Biasanya, setiap hari raya, kamilah yang berkunjung ke bawahan. Tapi karena sekarang kondisi abah tidak memungkinkan, maka keluarga di Bawahan dengan kompak datang beramai-ramai menjenguk abah. Siangnya, Aidah yang ada di Tanjung, juga datang bersama Fasha. Aku dan Aidah lalu datang menjenguk abah. Aidah kemudian menyampaikan niat beliau untuk bermalam di rumah sakit, namun abah menolak karena menurut abah Fasa akan membuat keributan. Aidah tampak kecewa, namun akhirnya menurut saja.

Sore itu, tiba-tiba saja abah meminta kami semua bergantian memegang tangan abah. Panas, ucap abah setiap kali memegang tangan kami semua. Menurut beliau tangan kami semua sungguh panas, dan terasa membakar saat bersentuhan dengan kulit beliau. Aku tidak mengerti sama sekali, karena ku rasa suhu tangan kami normal-normal saja. Namun begitulah yang namanya orang sakit, kata-kata dan perbuatan mereka kadang penuh misteri, seperti yang abahku alami.

Sorenya, aku dan aidah pulang ke rumah. Selepas maghrib, aku membuka facebook an menulis sebuah postingan, “Sampai kapanku, aku tidak pernah siap dengan yang namanya kematian.” Kala itu, aku tidak mengerti kenapa aku sampai bisa menulis postingan seperti itu. Yang ku tahu setelahnya, aidah mendapat telepon dari mama yang menyuruh kami untuk segera bergegas ke rumah sakit. Kala itu pikiran kami sudah kacau tak terduga. Kami mencoba mereka-reka apa yang terjadi pada abah. Apakah kondiri abah menjadi semakin kritis? Apakah abah masuk ruang operasi? Ah, aku tak tahu lagi. Aidah memacu kendaraannya dengan kencang dan sembrono, hingga kami sampai muter-muter gak jelas di lapangan murjani. Sesampai di rumah sakit, kami segera berjalan setengah berlari menuju kamar abah. Sesampainya disana, aku terkejut mendapati suasana kamar yang: kosong dan bersih.

Aku yang panik langsung menyuruh aidah menelepon mama. Di mana mereka, apa abah dipindahkan ke ruang gawat darurat atau bagaimana. Namun baru mau menelepon, mama datang. Aku segera berhambur sambil menanyakan dimana abah. Dengan tenang, sambil mengelus punggungku, mama pun mengatakan bahwa abah baru saja meninggal.

Tangisku langsung pecah. Ya Allah, aku selama ini tidak pernah mengerti tentang perasaan orang-orang di televisi yang menangis sesenggukan saat orang terkasih mereka dipanggil ke rahmat tuhan. Tapi sekarang saat ku mengalaminya sendiri, tak ku sadari air mata ini mengalir dengan deras tanpa bisa ku kontrol. Abah ada di dalam ambulans, sudah dengan keadaan terbujur kaku, siap di antar ke tempar peristirahatan terakhir.

Dalam ambulans, tanpa sadar, pertanyaan pertama yang kutanyakan pada mama adalah, bagaimana keadaan abah saat meninggal. Nyaman saja kah? Mama pun bercerita, selepas maghrib mama memandikan abah, sehingga kala itu abah meninggal dalam keadaan sudah bersih. Sepuluh menit sebelum meninggal, abah meminta Anisa memanggilkan perawat untuk memeriksa keadaan beliau. Setelah perawat datang, abah pun mengatakan kalau beliau merasa sesak nafas. Kala itu mama ada di samping abah, sedang anisa duduk agak jauhan di tempat duduk. Tidak lama setelah mengucapkan kalimat itu, abah tampak memejamkan mata. Sang perawat panik saat sadar jantung abah sudah tidak berdenyut lagi. Anisa tampak yang paling tidak percaya. Abah masih bisa mengobrol dengannya beberapa menit yang lalu, sekarang sudah meninggal? Pokoknya prosesnya cepat sekali, tidak ada gejala aneh-aneh seperti nafas tersengal-sengal atau semacamnya. Pokoknya mama bilang, abah meninggal dengan keadaan enak sekali. Sekali tarikan nafas, malaikat datang mencabut nyawa beliau. Abahpun terbaring dengan tenang, tanpa beban berarti pertanda tugas beliau di dunia sudah selesai.

Para keluara dan tetangga sudah menunggu di rumah, menyiapkan tempat peristirahatan abah. Kala itu pukul sepuluh malam, namun malam masih terasa begitu panjang. Mataku masih memangis sesembapan. Dan seakan teringat tentang pesan terakhir yang abah sampaikan padaku, aku mengambil sebuah Al-Qur’an sambil mengaji semalam suntuk. Sambil mengaji, sesekali air mata mengalir deras, namun ku coba untuk menguatkan perasaan. Abah sudah meninggal, mau tidak mau, aku harus menerima kenyataan itu.

Mata mama dan aidah juga sembab, mereka ikut duduk di samping mengajikan abah. Anisa sepertinya yang paling syok. Kala itu beliau tengah haid, sehingga beliau tidak bisa ikut mengaji. Anisa pergi ke kamar, lalu menangis sambil tidur. Bangun tidur, beliau menangis lagi, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kejadian ini begitu mendadak, dan menjadi pukulan besar bagi kami semua.

Subuh pun tiba. Selesai subuh, seseorang membacakan pengumuman tentang meninggalnya abah. Saat mendengar kalimat, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’u. Telang berpulang ke rahmatullah, Guru Fakhrudin bin Tahlil,” kegiatan mengajiku terhenti, dan aku kembali menangis seseunggukan. Kalimat yang tampak biasa itu, menjadi terdengar luar biasa di telingaku. Sebuah pernyataan telak bahwa abah memang telah meninggal, dan khalayak ramai pun telah mengetahuinya.

Abah dimandikan pukul sepuluh pagi. Sebelum dishalatkan, kami sekeluarga disempatkan untuk mencium abah untuk terakhir kalinya. Kala itu, ku sadari ada yang berubah dengan jenazan abah. Posisi mulut abah, tampak terbuka sehingga gigi beliau bisa terlihat dengan jelas. Belakangan ku ketahui, bahwa itulah yang namanya: jenazah yang tersenyum.

Sesuai dengan amanat abah, abah dishalatkan di langgar Darul Aman, langgar kampung kami. Paman, yang mengkoordinir para jemaah, terkejut dengan jumlah jemaah yang lebih banyak dari yang diperkirakan. Beliau pikir cuma akan ada delapan puluhan orang yang menshalatkan, ternyata jumlahnya lebih dari seratus dua puluh orang. Iring-iringan di jalan raya mau tidak mau membuat para mobil terhenti. Iringan itu terlihat gagah, begitu dari kisah yang ku dengar dari para jemaah. Intinya adalah, banyak orang yang menghantarkan kepergian abah, dan hal itu membuatku cukup berbangga.

Saat jenazah dimakamkanpun, ternyata masih banyak jemaah yang menghadapi dan tidak pulang. Padahal kata Paman pula, biasanya orang-orang kebanyakan akan pulang setelah shalat jenazah, namun kali ini masih banyak yang mengiring abah hingga tempat peristirahatan terakhir. Ah, sebenarnya aku tidak begitu mengerti hal semacam itu. Tapi intinya adalah, aku tahu bahwa abah adalah orang baik, sehingga beliau juga bisa dikuburkan dengan baik.

Beberapa hari semenjak abah meninggal, terasa ada yang berbeda di keluarga kami. Yang paling berubah adalah mama. Mama yang biasanya sering tertawa keras saat bercanda dengan keluarga, kini sudah mulai jarang menampakkan tawanya. Tampak sekali bahwa kepergian abah merupakan pukulan besar bagi mama. Mama bahkan mulai kembali memperhatikan takhayul-takhayul dulu untuk ‘mencegah’ kejadian ini terulang kembali. Beliau memperingatkan dengan keras agar kami tidak tiarap, karena menurut kepercayaan, kalo anak tiarap itu berarti mendoakan agar orang taunya cepat meninggal. Bahkan juga, karena salah satu keluarga bilang tidak baik ada pepohonan di depan rumah, mama nekat menebang pohon mangga di depan rumah yang selama ini menaungi halaman depan rumah kami. Intinya, bisa dilihat kalau mamalah yang paling terpukul atas kepergian abah. Walau abah dulunya sudah sering berkata kalau katanya pasti abah yang lebih dulu meninggal ketimbang mama, tetap saja mama tidak bisa menerima kenyataan yang ada.

Anisa yang sigap segera mengambil keputusan mantap: beliau berhenti bermalam di pondok. Sekarang beliau memutuskan untuk bolak balik saja ke tempat kerja, dengan alasan ingin menemani mama di malam harinya. Ku hargai keputusan itu, karena sekarang mama memang sangat perlu seorang teman yang bisa menjadi tempat bercerita. Yeah, walau kami sadar kami tidak bisa begitu banyak membantu, tapi mama dengan jujur mengatakan, melihat kami, anak-anaknya bisa tertawa, merupakan suatu kebahagiaan bagi beliau. Karenanya, ku usahakan untuk berada di rumah sesering mungkin agar bisa berkumpul dengan mama.

Sebenarnya, kalau di suruh bicara, satu penyesalan yang masih mengganjal di dalam hati adalah kenapa abah tidak di bawa ke rumah sakit lebih awal. Karena kala itu, waktu menjelang hari raya, banyak para dokter spesialis yang cuti, sehingga penanganan abah tidak bisa sepenuhnya. Dokter umum pun masih mereka-reka sebenarnya penyakit apa yang abah derita. Kurang makan dan kurus, entah pertanda apa. Belakangan setelah abah meninggal, Anisa akhirnya menyimpulkan bahwa itu adalah akibat paru-paru basah alias tuberkolusis abah yang kumat. Sayangnya kala itu kami tidak menduga sama sekali kalau paru-parulah yang menjadi permasalahan. Kami kira ini semua akibat diabetes, sehingga catatan yang diberikan ke dokter tidak lengkap. Ah, tapi kalo menyesali hal semacam itu, rasanya tak ada gunanya juga. Ajal seseorang sudah digariskan oleh Tuhan. Kita yang ditinggalkan, tak punya pilihan selain menerima dan mengihlaskan segalanya, bukan?

Seratus hari semenjak abah meninggal, aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa abah telah meninggal. Satu hal yang membuatku begitu bersyukur adalah, sebelum beliau berpulang, abah masih memberiku kesempatan untuk mengucapkan kata maaf. Bagiku, itu sudah cukup membuatku bisa menerima kepulangan beliau ke sisi-Nya. Selain itu, aku tahu dengan jelas bahwa abah adalah orang baik. Beliau hidup dengan baik, meninggal dengan keadaan baik, dan dihantarkan ke tempat terakhir dengan baik pula. Karenanya, kami yang masih hidup sekarang, sedikit demi sedikit bisa menerima bahwa kini abah telah berada di tempat yang lebih baik. Dan sekarang adalah tugas kami untuk memperbanyak amal ibadah, agar kelak kami bisa berkumpul kembali di surga-Nya bersama-sama. Amin.

Post a Comment

0 Comments