JSON Variables

Header Ads

Perang Banjar Barito, Sejarang Panjang Perjuangan Urang Banua

Minggu kemarin, saat tergoda meminjam buku tentang Datu-Datu di Kalimantan Selatan, aku juga meminjam satu lagi buku yang berisi tentang sejarah Banjar. Jadi ceritanya, minggu ini adalah musimnya buku Banjar, dimana aku bisa menamatkan dua buku berbau banjar sekaligus. Ehe. Hari ini, aku baru menamatkan buku banjar yang satunya itu.

Buku sejarah banjar yang ku maksud itu berjudul Perang Banjar Barito (1959-1906) karangan Ahmad Barjie. Buku setebal 392 halaman itu pada dasarnya yang memang buku sejarah, dengan banyaknya rentetan cerita dan nama-nama pejuang dikisahkan hikayatnya. Aku juga tidak habis pikir bagaimana bisa aku menamatkan buku ini dengan baik. Karena pada kenyataannya, aku sangat menikmati isi buku tersebut.

Secara umum, buku tersebut memuat kisah Perang Banjar yang terjadi di masa Kesultanan Banjar masih ada pada zaman Penjajahan Belanda. Meski begitu, si pengarang buku menamai perang itu dengan Perang Banjar-Barito karena menurut beliau, kalau disebut perang Banjar saja, rasanya peperangan dulu itu seakan cuma mengatasnamakan rakyat banjar. Padahal, orang Dayak juga ikut berperan penting dan perjuangan melawan Belanda. Tempatnya pun luas, mencakup tempat yang sekarang termasuk dalam Provinsi Kalimantan Selatan, Tengah dan Barat. Karenanya, akan lebih arif bila peperangan ini disebut Perang Banjar-Barito untuk menunjukkan ini peperangan besar, yang meliputi hampir seluruh masyarakat Kalimantan.
Pangeran Antasari

Dalam buku ini, dikisahkan dulu bagaimana pertama Belanda datang, yang awalnya mau memonopoli lada lalu perlanjut ke penjajahan. Jujur aja, waktu ngebaca awal-awal bagian kelicikan belanda itu, hatiku sangat geram sampai rasanya kepengen melempar sesuatu. Haha. Kesel abis ngebayanginnya. Maunya menyumpah-nyumpah aja dah bawaan kalo membaca kekasaran Belanjda terhadap urang banjar nenek moyang ku. >_<

Meski begitu, dikisahkan pula di buku ini tentang ketangguhan para pahlawan Banjar dalam membela tanah lahirnya. Ada pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman, dan lain lagi. Intinya, mereka para pangeran itu, tidak cuma sekedar bertarung melawan Belanda demi mempertahankan kedudukan mereka sebagai Sultan, tapi memang bertarung demi rakyat sekalian. Wah, salut. Waktu ngebaca betapa Belanda dengan lihainya menipu Pangeran Hidayatullah hingga beliau bersedia menandatangani perjanjian yang isinya ‘penghinaan’ banget, aku jadi mencoba membayangkan gimana kira-kira gambaran keadaannya kala itu. Pasti si Belanda yang pintar muslihat itu melakukan berbagai upaya sehingga akhirnya Pangeran Hidayatullah mau tanda tangan. Aaargh, kesel, kesel! Wkwk

Ada lagi bagian yang bikin ane kesel. Si Belanda itu seenak-enaknya aja nyebut orang-orang macam Pangeran Antasari atau Pangeran Hidayatullah sebagai pengkhianat. Ya, pengkhianat di mata mereka. Bahkan, mereka jadi masuk dalam wanted list, dan kepala mereka masing-masing ada harganya. Fufu. Di satu sisi ane kesel, di satu sisi juga senang karena itu berarti Belanda mengakui kalau pahlawan di Banua Banjar itu emang hebat-hebat hingga mereka kewalahan menghadapinya. Hehe.

Btw, berhubung ini buku sejarah dan menyangkut riwayat hidup seseorang yang penuh lika-liku, tentu pula ada bagian dari cerita itu yang sukses membuatku menangis. Sebenarnya ada banyak bagian tragis dan mengharukan di buku ini, tapi bagian yang paling membuatku tersenyuh adalah saat Demang Lehman dihukum gantung. Sikap beliau yang begitu tenang menghadapi tiang gantungan membuatku tak bisa menahan air mata. Demang Lehman sungguh orang yang kuat. Apalagi, di akhir hayatnya beliau memberi pesan yang benar-benar bisa menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Beliau berkata, “Dangar, dangar sabarataan. Banua Banjar kalau kada dipalas lawan banyu mata dan darah, marikit dipingkuti Walanda.” Wah, bahkan di akhir hayatnya beliau masih sempat-sempatnya mengingatkan para rakyat untuk tetap berjuang. Hiks. You’re the real MVP.

Membaca buku ini, aku baru tersadar kalau sebenarnya peperangan Banjar-Barito itu berlangsung cukup lama. Bayangkan, hampir 50 tahun. Sedangkan dalam buku-buku sejarah yang ku baca di sekolah biasanya, isi penjelasannya paling banyak satu lembar. Ah, malu dong sebagai orang Banjar, tapi tidak tahu kalau kita pernah melalui sebuah peperangan dahsyat melawan Belanda. Itu membuktikan bahwa ada dasarnya kita orang yang hebat. Semua golongan ambil bagian dalam perang tersebut. Rakyat biasa, para bangsawan, bahkan ulama. Ya, ulama punya peran penting lo dalam peperangan tempo dulu. Konsep Baratib Baamal yang mereka tanamkan membuat semangat para pejuang muslim semakin berkibar. Para pejuang dibekali bacaan-bacaan untuk mengokohkan niat, membuat badan mereka lebih bugar, bahkan di tingkat yang sudah tinggi, bisa dapat ilmu menghilang juga. Ckck... Luar biasa. Pantes aja waktu Belanda udah sepenuhnya berkuasa, mereka mencekal habis-habisan tempat belajar agama Islam. Biar semangat pejuang tidak ikut berkobar.

Pada akhirnya, memang rakyat Banjar kalah dalam peperangan melawan Belanda. Akibatnya, Kesultanan Banjar dihapuskan. Tapi aku sendiri yakin, mereka telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan banua ini. Tak ada darah yang tertumpah sia-sia. Para ulama zaman ini, telah mengeluarkan fatwa bahwa berperang melawan penjajah adalah sebuah peperangan fii sabilillah. Perang di jalan Allah, karena mempertahankan negara sangat penting agar agama Islam bisa bertahan di tanah ini. Insya Allah, semua pahlawan itu gugur sebagai syuhada.

Bicara masalah pahlawan, sebenarnya cukup disayangkan ada juga orang banua yang berbelot dan memilih mendukung penjajah. Beberapa ahli berpendapat, sebagian pembelot itu melakukan hal tercela demikian karena mereka sudah tidak kuat untuk hidup dalam ketidakpastian. Sebagaimana kita ketahui, bila seseorang berjanji memihak Belanda, maka hidupnya dijamin akan tentram dan damai, dalam artian material tentu saja. Mengetahui kenyataan itu sebenarnya cukup menyakitkan, karena ada beberapah pahlawan yang ditangkap justru karena pengkhianatan kawan sebangsa sendiri. Penghulu Abdul Rasyid, misalnya. Kisah wafatnya beliau sungguh tragis dan menyedihkan. Ah, mungkin itu yang disebut dalam istilah banjar bacakut papadaan. Miris membacanya.

Meski begitu, hati orang siapa yang tahu. Meksi beberapa tokoh tercatat sebagai sejarah sebagai pemberontak atau pengkhianat, kita tidak bisa seenaknya menjudge mereka sebagai penjahat. Tamjidillah, misalnya, saudara seayah Pangeran Hidayatullah. Beliau jelas semenjak awal berpihak kepada Belanda, sehingga dikategorikan sebagai penjahat. Meski begitu, ada riwayat yang bercerita lain. Saat beliau di tempat pembuangannya, beliau bertemu dengan Pangeran Hidayatullah. Saat bertemu, keduanya saling menangis dan berpelukan, menyaksikan betapa hancurnya keadaan kerajaan Banjar karena perselisihan mereka dulu. Mereka menyesal telah membiarkan Belanda berhasil menghasut salah satu dari mereka dan memecah belah keadaan. Ah, kalau memang keadaannya seperti itu, siapa tahu kalau di akhir hayat, kedua saudara itu akhirnya kembali berteman. Wallahu a’lam.

Bicara masalah pahlawan juga, sebagaimana yang kita ketahui, pahlawan nasional yang ada di Kalimantan Selatan cuma Pangeran Antasari. Padahal kalau ku baca lebih jauh lagi, Pangeran Hidayatullah juga tak kalah hebatnya dalam memimpin perang, kenapa beliau tidak dinobatkan sebagai pahlawan nasional?
Pangeran Hidayatullah

Usut punya usut, sebenarnya sudah sejak dulu pemerintah Kalimantan Selatan mengajukan Pangeran Hidayatullah sebagai pahlawan nasional, namun selalu di tolak oleh pihak pusat. Alasannya simple, karena katanya Pangeran Hidayat menyerah ke Belanda, dan itu tidak menunjukkan sikap seorang pahlawan sejati. Ah, padahal kalo mereka ngebaca sejarah dengan lebih cermat, kita juga tahu bahwa Pangeran Hidayat sebenarnya dijebak dan terpaksa menyerah, bukan menyerah dengan suka rela karena sudah mengaku kalah. Kenapa hanya dengan alasan itu beliau ditolak menjadi pahlawan nasional? Bagaimana dengan jasa-jasa beliau sebelumnya yang begitu banyak terhadap benua? Padahal lagi, ada juga kok pahlawan nasional yang menyerah pada Belanda. Tuanku Imam Bonjol, Sultan Agung Tirtayasa, toh mereka tetap diangkat sebagai pahlawan nasional. Ada lagi, Teuku Umar, beliau malah sempat bekerja sebagai kaki tangan Belanda, tetap bisa menjaid pahlawan nasional. Rasanya alasan berupa penyerahan diri sebagai alasan menolak pangeran Hidayatullah sebagai pahlawan nasional terlalu mengada-ngada dan bukan alasan yang kuat. Ku berharap, suatu hari nanti pemerintah bisa bersikap lebih bijak dengan memberikan gelar pahlawan kehormatan kepada beliau. Amin.

Ah, iya. Berkat membaca buku ini aku jadi tahu arti politik devide et impera sesungguhnya. Sewaktu SD aku diajari bahwa itu artinya plotik adu domba. Saat itu, pemahamanku hanya sampai kepada, Belanda mengadu domba dua buah pihak yang dulu saling berteman. Itu benar, tapi kasusnya tidak selesai sampai disitu. Saat mengadu domba dua belah pihak, Belanda akan sengaja memihak pihak yang lemah. Setelah itu, Belanda akan bersikap sok baik hati menolong pihak itu, hingga pihak yang kuat, dan biasanya benar, bisa kalah. Setelah menang pihak yang lemah itu, maka Belanda kembali melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan pihak yang lemah tersebut. Pada akhirnya, Belanda-lah yang menang, dan begitulan sistem politik yang dengan cemerlang ia jalankan di seluruh kerajaan di Indonesia pada masanya, termasuk di Kesultanan Banjar.

Terakhir, deh. Setelah selesai membaca buku ini, aku jadi merasa bersyukur bahwa Khairul Saleh, atau lebih tepatnya Sultan Haji Khairul Saleh al-Mu’tashim Billah membangkitkan lagi sistem kesultanan di Kalimantan Selatan. Tidak ada salahnya toh, lagipula beliau memang keturunan resmi Kerajaan Banjar, dan pada dasarnya ada banyak lagi pagustian yang beredar di luar sana. Dengan adanya sebuah wadah resmi seperti itu, maka kita sebagai generasi muda bisa berbangga diri sedikit tentang sistem Kesultanan yang juga ada di banua banjar ini. Not bad, lah. Walau sekarang masih belum kelihatan geliatnya, ku berhadap ke depannya nanti Kesultanan Banjar bisa bergerak aktif menumbuhkan kembali budaya lama banjar yang masih patut kita pertahankan, sehingga anak cucu bisa tahu, bahwa kita, adalah keturunan sebuah Kerajaan besar yang hebat.

Post a Comment

0 Comments