Hari Selasa, harusnya aku cuma ada jadwal piket. Meski begitu, berhubung anak-anak UNISKA sudah selesai PPLnya, ada kemungkinan aku disuruh mengajar di kelas yang dulu di ajar mereka. Dan benar juga. Meski ku udah ‘sembunyi’ di perpustakaan (haha), Bu Rabiatul mengirimku sms, menanyakan apakah aku bisa masuk ke kelas VII D. Tentu saja aku tidak bisa menolak.
Berhubung aku tidak ada persiapan sama sekali, maka aku mengajarnya amburadul. Rasanya ini pertama kalinya aku mengajar sekacau ini. Suasana kelas kacau, aku juga bingung mesti ngomong apa. Melihat murid yang tidak bisa diam, akhirnya ku suruh mereka mengerjakan latihan. Tidak disangka, mereka malah kesenangan. Akhirnya, apa yang sudah ku curigakan akhirnya terjadi pula: mencontek massal.
Berhubung itu cuma soal pilihan ganda, maka mereka bisa menjawabnya dengan mudah. Dalam waktu singkat udah selesai, diperiksa bersama, dan nilai yang mereka dapatkan pun hampir seragam semua. Haha. Gara-gara gregetan waktu ngelihat mereka nyontek, ku bahkan kasih pesan ke muridnya, “Jangan lupa ditulis sumbernya.” Guru macam apa ini? Ckckck...
Setelah selesai tugas pun, waktu luas yang ada malah ku isi dengan duduk di depan kelas, membiarkan para murid sibuk dengan mainannya masing-masing. Well, sebenarnya ini bukan gayaku, tapi Ibu Rabiatul sendiri yang memintaku untuk duduk aja. Hmm, serius deh, ini kelas paling kacau pokoknya. Melihatku yang sudah kewalahan menangani murid bahkan membuat Bu Rabiatul turun tangan, dan menyuruh para murid untuk diam sekalian. Tak mempan sih, tapi lebih berasa ketimbang peringatanku. Geh, aku menyerah.
Salah seorang murid kayaknya ada yang cukup sewot sama aku, gara-gara tadi buku gambarnya ku ambil. Langsung deh ia mengeluarkan jurus andalannya, menanyakan kapan Bu Dayah, mahasiswi UNISKA yang dulu megang kelas ini, balik lagi mengajar mereka. Aku cuma terdiam, sadar diri kalau aku tidak mendapat sambutan yang cukup baik di kelas ini. Tapi masa bodo lah. Kalau aku terlalu peduli dengan setiap omongan murid, aku mungkin malah tidak bisa mengajar sama sekali.
Btw, kok panjang banget curhatnya, jauh banget ama judul yang terpampang besar di bagian paling atas? Haha. Cuma pengen bercerita saja. Soalnya inspirasi kisah ini pun ku dapatkan pada hari ini, ketika ku sedang berada di perpustakaan. Ketika itu, beberapa murid tengah berada di perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Karena cukup telat, seorang guru marah-marah dengan mengeluarkan sebuah umpatan ke murid itu. Aku lupa umpatannya apa, yang jelas itu merupakan sebuah kata-kata kasar yang ‘seharusnya’ tidak kita ucapkan pada murid.
Tidak hanya disitu, di dalam kelas yang ku ajar pun, Bu Rabiatul tidak segan mengeluarkan kata-kata menohok pada murid, yang menggambarkan sikap bengal para murid, ketika murid tidak bisa diatur. Lagi-lagi aku juga cuma terdiam mendengarnya. Sekilas aku ingat kejadian dulu, waktu ada insiden juga, seorang guru tanpa peringatan menyebut muridnya dengan kata ‘Bodoh.’ Ah, sakit telinga dah.
Aku saat ini, menjalani PPL di sekolah rehabilitasi. Dengan kata lain, sekolah ‘buangan’. Anak-anak disini merupakan anak-anak luar biasa, yang punya kemampuan fisik tak bisa ditahan. Maunya lari-lari keliling kelas terus kalau ada pelajaran. Gak bisa duduk pokoknya. Pengennya ngomong, tereak-tereak, nyanyi, dan semacamnya lah, hingga tak bisa di tegur lagi. Melihat keadaan itu aku jadi berpikir sendiri. Apakah sejak dulu keadaan sekolah memang sudah seperti itu?
Tentu saja jawabannya tidak. Beberapa guru yang mengajar di sekolah ini dulu juga alumnus sekolah ini. Hal ini menunjukkan bahwa murid-murid angkatan dulu banyak yang jadi orang alias berhasil, berarti pelajarannya juga tidak sia-sia dong. Tapi kenapa keadaan sekolah sekarang jadi seperti ini. apa karena input yang masuk ke sekolah memang sudah begitu, memang sudah ‘nakal’ dari sananya?
Tidak, ku rasa tidak. Buktinya adalah, seorang guru menyatakan, bila murid lulusan sini masuk ke salah satu SMA berkelas, maka sikap ‘tak beradab’ mereka perlahan-lahan akan membaik. Dengan kata lain, lingkunganlah yang membentuk mereka.
Ya, ini disayangkan, tapi itu kenyataan. Kenapa keadaan murid menjadi amburadul begini, ku rasa bukanlah salah para murid, tapi kesalahan dari manajemen sekolah sendiri. Kenapa murid bisa bertindak kebablasan, karena tidak ada ketegasan berarti yang diberikan. Padahal kalau kita ambil contoh, murid kelas VII yang baru masuk itu, harusnya bisa didik menjadi manusia yang lebih baik bila guru memberi didikan yang benar. Tapi kenyataannya? Melihat kakak kelas yang suka bermain-main, melihat guru yang tidak begitu peduli, maka terbentuklah sikap semacam itu, turun temurun. Sebagaimana kecerdasan yang bisa menular, maka kenakalan juga bisa menular.
Karenanya, disini yang ingin ku tekankan adalah, jangan kambing hitamkan sekolah dalam menilai keadaan murid. Mentang-mentang sekolah ini sudah dicap sebagai sekolah rehabilitasi, sehingga gurunya maklum aja kalo muridnya bertindak seenaknya dan membiarkan mereka begitu saja. Sungguh, murid bertindak nakal kalau bagiku, lebih kepada karena lingkungan yang membuatnya begitu. Dengan kata lain, gurulah yang berperan besar membuat anak murid yang semacam itu.
Secara kasat mata, guru mungkin tidak bisa disalahkan banyak oleh keadaan murid yang semacam itu . Tapi sebenarnya, sikap guru yang membiarkan murid bertindak nakal, atau mungkin berusaha mendisiplinkan murid dengan cara yang salah, memberi umpatan misalnya, malah membangun karakter nakal yang ada di dalam diri murid itu lebih subur. Disinilah seperti yang sudah pernah ku bahas sebelumnya, guru antagonis itu penting, terutama untuk sekolah semacam sekolah ini. Bukan bermaksud menakuti, tapi demi menumbuhkan disiplin yang ada dalam murid sejak kecil.
Aku mencoba berandai-andai. Kalau saja semua guru mempunyai wibawa, bisa berlaku tegas kepada muridnya, walau di saat mengajar saja, maka outputnya pasti akan berbeda. Well, guru yang lembut itu memang penting. Tapi yang menjadi masalah adalah, di sekolah ini lebih banyak guru lembut ketimbang guru tegasnya. Dan buruknya lagi, kalau guru yang tegas memberikan hukuman dalam bentuk sesuatu yang lebih mendidik, sedang guru yang lembut malah memberi hukuman dalam bentuk umpatan. Terlihat kurang menyakitkan sepertinya, tapi sebenarnya, itu sebuah doa yang buruk, kan?
Ah, tapi ini cuma sebatas opini. Tentu tidak mudah merevolusi sebuah sekolah, aku tahu itu. Namun setidaknya, yang ingin ku tekankan disini adalah, saat seorang murid berbuat salah, sebenarnya guru juga ambil peran dalam bagian itu. Jangan selalu salahkan muridnya yang bodoh atau tidak tahu tata krama. Periksa gurunya, apakah mereka mengajarkan hal itu. Tentu para guru mengajarkannya, itu jelas. Yang jadi masalah, seserius apa guru menanamkan kedisiplinan dan akhlak moral pada murid?
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sekarang aku mengerti arti peribahasa itu.
0 Comments