Dalam mata kuliah PPL 2, biasanya para mahasiswa diwajibkan untuk mengajar dua belas kali sudah termasuk middle dan final. Tetapi dimulai dari angkatanku, kami diwajibkan mengajar minimal empat belas kali. Kemarin kami sudah melakukan middle, namun dengan itu saja aku baru delapan kali mengajar. Itu artinya, aku masih perlu enam kuota lagi. Sedangkan waktu mengajar kami tinggal dua minggu lagi. Aku memutar otak, bagaimana caranya aku bisa ngebut, mencukupi kuota yang ada.
Hari ini harusnya anak-anak UNISKA final PPL, tapi diundur hingga hari kamis. Kesempatan itu tak ku sia-siakan. Aku minta izin agar diberikan kewenangan masuk ke kelasnya. Liyana, salah satu anak UNISKA yang ku kenal, dengan senang hati memperkenankan. Ada dua kelas pula ternyata. Kebetulan Kiya, salah satu rekan PPL ku tidak masuk, sehingga akulah yang akan memasuki ke dua kela situ. Yes. Dengan begini, sudah sepuluh kali jadinya aku mengajar.
Sebenarnya aku rada was-was masuk ke kedua kelas yang belum pernah ku sambangi sebelumnya itu. Bagaimana respon anak-anak. Ribut itu jelas. Tapi setinggi apa level ributnya?
Kelas pertama yang ku masuki adalah kelas VII C. Kelas ini awalnya tampak welcome dengan kehadiranku, tapi kemudian belang mereka muncul: ribut luar biasa. Waktu Ibu Rabiatul bicara meminta tenang, baru mereka bersedia tenang. Selebihnya, saat ku menjelaskan, saat ku memebri tugas, luar biasa: mereka malah asyik menggendang meja di belakang.
Kelas VII D lebih parah lagi. Saat ku masuk, mereka sudah mulai menunjukkan kekecewaan karena Bu Dayah, anak UNISKA yang biasa mengajar mereka Bahasa Inggris, tidak masuk hari ini. Merasa tidak begitu dihargai, aku mulai mengeluarkan taringku: memerankan tokoh antagonis. Tidak boleh ada yang keluar kelas. Kalo keluar boleh. Konsekuensinya, pintu akan ku tutup, yang otomatis membuat seisi kelas kepanasan karena terkurung di ruangan dengan sedikit ventilasi itu. Mereka mulai takut-takut. Tapi saat ku sibuk menulis di papan tulis, mereka malah asyik main lempar kertas seakan mengolok-olokku.
Masya Allah, sebenarnya aku pengen marah-marah. Tapi justru semakin aku marah, semakin rendah nada suara yang ku keluarkan. Semakin marah, semakin ku tak sanggup lagi untuk tereak-tereak. Haha. Pada akhirnya karena kesal, langsung aja ku kasih mereka latihan.
Untungnya, suasana latihan terasa lebih kondusif. Saat latihan kami bisa menjadi lebih dekat, karena mereka tanpa ragu-ragu memanggilku untuk meminta kepastian jawaban mereka benar atau salah. Di saat itu aku mulai bersyukur, merasa sedikit lebih diterima. Kalau sudah latihan begini, biarlah mereka keluyuran kesana kemari, asal tujuannya mengerjakan soal.
Yang parah adalah, aku tak bisa mengontrol dan mencegah anak-anak untuk nyontek. Mereka nyontek tepat di depan mataku, tapi ku biarkan saja. Bahkan yang lebih parah lagi, saat waktu hampir habis, aku menunggu satu orang murid yang tengah dengan santainya ‘menyalin’ jawaban temannya di buku latihannya. Masya Allah, guru macam apa aku ini?
Haha. Tapi sudah dari dulu memang ku bilang, aku tidak berbakat untuk jadi guru. Bukan karena aku tidak punya kemampuan kognitif, tapi karena aku tidak punya kharisma. Satu hal yang paling sulit ku lakukan adalah: menjadi guru killer alias memerankan tokoh antagonis di mata para murid. Sungguh peran yang berat, walau ku tahu bersikap tegas itu amat penting. Berhubung selama ini aku tidak pernah memunculkan sikap tegas, maka jadilah mereka tak merasa segan padaku dan seenaknya saja bertindak dihadapanku. Mereka keluyuran dengan bebas, mencontek dengan bebas, membicarakan kejelekan guru dengan bebas, dan lain-lain lagi, yang sudah tidak bisa terbendung.
Selama ini, guru diminta untuk ‘mendorong’ para murid maju ke depan, bukan lagi ‘menarik’ murid sebagaimana yang dilakukan guru-guru terdahulu. Kalau murid terjatuh, maka para guru akan mengulurkan tangan dan membantu murid-murid berdiri. Yang jadi masalah sekarang adalah, bagaimana bila murid yang kita dorong dari belakang itu, malah lari sekencang-kencangnya keluar jalur, hingga kita, para guru kehilangan jejak mereka, yang jangankan mendorong, menyentuh punggung mereka saja tidak bisa lagi? Itulah yang masalah yang tengah dialami dunia pendidikan di Indonesia. Para murid bagaikan kuda tanpa kusir, berlari kesana kemari dengan riangnya. Sang kusir tak bisa lagi mengejar, hingga akhirnya si kusir pasrah dan hanya bisa berdoa si kuda akan sadar diri dan kembali ke kusir yang selama ini memberikan petunjuk jalan padanya. Ya, para murid telah kehilangan tuntutan jalan utama dalam hidup: akhlak dan perilaku mulia.
Sampai sekarang, aku masih perlu berpikir bahwa murid itu perlu ditarik. Yang dimaksud dengan ditarik ini bukan cuma ditarik kesana-kemari sekehendak kita, tapi yang ku maksud adalah, dengan adanya si penarik, maka artinya ada seseorang yang berada di ‘depan’ para murid. Ya, ada pemimpin, yang para murid segani, mereka takuti, sehingga mereka tidak keluar jalur dan lari berserakan ke sana kemari. Bagiku, orang yang bisa melakukan itu hanyalah orang dengan kharisma terbaik. Dalam kasus paling ekstrim, ia adalah apa yang selama ini umum disebut dengan killer teacher.
Mendapat julukan sebagai killer teacher tidak selalu merupakan sesuatu yang buruk. Tak apa bila murid menakuti kita, dengan begitu kita punya wewenang lebih untuk menuntun murid ke arah yang kita mau, dalam kasus ini tentu saja, ke arah yang baik. Bila mereka takut pada kita, kita bisa mendapat kesempatan mengajari mereka berbagai macam ilmu, akhlak dan perilaku yang kini tlah terlupa, dan nilai-nilai kehidupan lainnya, yang mungkin, bila guru-guru biasa yang mengucapkannya, maka tak akan mempan dan dianggap angin lalu saja.
Tapi sayangnya, menjadi guru killer bukanlah hal yang mudah bagiku. Aku tak siap berperan sebagai tokoh antagonis. Aku tak sanggup menjadi bahan obrolan para murid dibelakang. Benar-benar pengecut, itu benar. Tapi itulah kenyataan. Aku bisa berkesimpulan semacam itu setelah ku terjun langsung ke lapangan, menyaksikan sendiri bagaimana keadaan sekolah-sekolah yang orang-orang bilang sebagai sekolah ‘rehabilitasi’. Membuat murid mendengarkan kita di sekolah yang biasa-biasa saja itu gampang, tapi di sekolah luar biasa ini, ku rasa pengajaran akhlak merupakan sesuatu yang leih penting di atas segalanya.
Tapi apa mau dikata. Kami pun tak punya wewenang penuh dalam hal semacam ini. aku sebentar lagi pergi, dan tak tahu bagaimana nasib lebih jauh sekolah ini. Akankah menjadi lebih baik? Hanya Tuhan yang tahu. Sebagaimana nasib masa depanku kelak. Akankah ku malah jadi guru? Ah, membayangkannya saja membuat kepalaku pening. Jadi guru itu gampang bila muridmu mau mendengarkan. Tapi ku rasa, bukan itu sosok guru sejati. Jujur saja, aku salut pada guru-guru yang sampai sekarang masih bertahan di sekolah tempatku PPL ini. Kira-kira berapa banyak pahala yang mengalir pada mereka karena dengan ikhlas mengajar untuk murid-murid luar biasa ini. sungguh, mereka semua tak bisa dibandingkan dengan diriku, yang memilih untuk mundur teratur saat melihat realita pendidikan yang menyakitkan.
Meski begitu, dalam hati ku tetap berdoa. Suatu hari nanti, ku kan bertemu dengan murid-murid itu di masa depan, saat mereka telah menjadi orang sukses, dan menyadari, betapa pentingnya menghargai gurumu.
0 Comments