Seperti biasa, siang ini aku shalat Zuhur di mesjid depan sekolah. Aku tidak jamaah, mencoba mencari kesempatan saat mesjid sudah sepi sehingga ku bisa leluasa untuk berwudhu dan mencari mukena. Awalnya ku pikir aku cuma sendirian, tapi ternyata Tika, salah satu rekan PPL ku, juga ikut shalat. Kami pun shalat bersama, walau tidak berimaman.
Selesai shalat, aku melipat mukena dan meletakkannya ke tempatnya semula. Tiba-tiba saja seorang ibu yang tadi ada di belakangku mengajakku bicara. Beliau tanya aku dari mana, ku jawab dari IAIN. Terus beliau tanya lagi, apa kenal dengan Dosen bernama Pak Restu, ku jawab saja tidak. Siapa sangka, pembicaraan itu malah mengantarkan kami ke sebuah pembicaraan panjang lebar tentang tasawuf.
Beliau mengaku bernama Siti Zainab, seorang psikolog yang bekerja di RS. Ulin Banjarmasin. Tanpa tedeng aling-aling, beliau langsung mengajakku bicara lebih dalam tentang tasawuf. Tika, yang juga telah selesai shalat, ikut bergabung. Ibu Siti membicarakan tentang hakikat shalat, hakikat mandi wajib, bersuci, kematian, dan sebagainya. Aku sampai ternganga-nganga tak bisa mengikuti jalan percakapan beliau. Ibu Siti bicara sungguh cepat, dengan mengunakan beberapa istilah atau isyarat yang tidak begitu ku pahami. Meski begitu aku tetap saja manggut-manggut, mencoba menghormati.
Haha. Baru kali ini aku ketemu orang semacam beliau. Menarik juga. Yang lebih menarik lagi, beliau bisa membaca karakter seseorang berdasarkan hitungan nama. Mengenai hitungan ini, sebenarnya aku sudah lama mendengarnya, tapi aku tidak akan bosan bila ada orang membacakan namaku sekali lagi. Katanya aku ini orangnya terlalu hati-hati, banyak mikir, dan sebagainya. Well, aku sih nurut aja. Tapi yang bikin aku deg degan adalah, saat aku mencoba meminta beliau menanyakan jodohku dengan Kataomoiku. Wkwk. Jawabannya adalah: tidak berjodoh. Sudah, lupakan. ^o^
Kami mengobrol ke sana kemari tentang tasawuf, hingga tak terasa lonceng tanda pulang pun berbunyi. Shaleh yang penasaran dengan keberadaan kami menyusul ke mesjid, ikut masuk dalam forum diskusi kami. Sementara aku dan Tika permisi sejenak, untuk mengambil kendaraan dan tas. Setelahnya, kami kembali bergabung mendengarkan Bu Siti bicara. Ya, pada dasarnya cuma beliau yang banyak bicara, kami cuma mendengarkan sambil terkagum-kagum dengan kedalaman tasawuf beliau. Beberapa hal bahkan agak tidak sampai ke nalarku, tapi ku dengarkan aja.
Saat Shaleh dan Ilmi undur diri, sebenarnya aku juga kepengen ikutan pulang. Tapi beliau masih tidak berhenti ngomong, dan aku tidak enak undur diri begitu saja di tengah pembicaraan. Akhirnya, saat kami memutuskan untuk benar-benar pulang, kami yang tidak tega meninggalkan beliau sendirian di tempat itu mengantar beliau ke rumahsalah satu anak angkat beliau yang ternyata, laki-laki.
Sesampainya disana, aku dan Tika benar-benar takut masuk ke rumah yang benar-benar rumah cowok itu. Tapi Ibu Siti terus memaksa, dengan niat memperkenalkan kami dengan anak angkat beliau yang udah punya pacar itu. Saat Bu Siti izin ke dapur, otomatis hanya kami bertiga yang ada di ruang tamu. Jadilah kami berdua duduk tegang, diam seribu bahasa. Haha. Lucu sekali. Ini pertama kalinya aku bertamu ke rumah seseorang dengan suasana hening begini. Aku bahkan dengan lugunya memfokuskan pandanganku pada lukisan angsa yang ada di hadapanku, tidak berani berpaling pada cowok keren yang memegang rokok di tangannya (ore wa pass, tabako no sei desu. Wkwk).
Tika mencoba memberi isyarat, menyuruh untuk segera pulang. Tentu aku juga kepengen segera pulang, tapi sekali lagi bingung cara sopan memotong pembicaraan Bu Siti yang kembali sibuk dengan ocehannya. Akhirnya, saat azan Ashar berkumandang, ku beranikan mengutarakan perasaan bahwa kami ingin pulang. Sempat bingung lagi, karena Bu Siti mau Tika mengantarkan beliau. Tapi syukurnya batal, sehingga aku dan Tika bisa pulang dengan selamat.
Di perjalanan pulang, kami berdua bercerita mengenai perasaan kami bisa bertemu orang seunik beliau. Haha, sungguh, hari ini petualangan yang benar-benar tidak pernah ku duga.
Meski Bu Siti terlihat nyentrik dengan gaya bicara cepatnya, tapi aku merasa bisa memetik beberapa pelajaran penting saat bicara dengan beliau, yang terkait dengan tasawuf tentu saja. Pertama, pentingnya niat dalam melakukan ibadah, seperti bersuci, beristinja atau mandi junub. Kedua, pentingnya mengenal diri sendiri, karena bila kamu bisa mengenal diri sendiri, maka Insya Allah kamu bisa mengenal Allah. Ketiga, pentingnya berguru. Tadi, beliau sempat menyebutkan beberapa tokoh yang menjadi guru tasawuf beliau. Salah satu yang ku kenal adalah Guru Zuhran dari Tambak Anyar, yang aku tahu merupakan salah satu guru besar di tempatku. Saat beliau menyebutkan nama Guru Zuhran, aku jadi yakin bahwa ilmu beliau memang bukan main-main, tapi di dapatkan dari berguru pada banyak orang alim.
Bu Siti juga menyebut-nyebut lagu Roma Irama berjudul Lima, beliau tanya apa ada yang tahu lagu itu, karena isi liriknya penting. Aku jelas tidak tahu lagu itu (haha), tapi tadi saat ku browsing, aku tahu sekarang bahwa isi lirik lagu itu gak jauh-jauh beda dari lagu Raihan yang Demi Masa. Oooo...
Selain itu, ada juga bagian dari penjelasan beliau yang kurang ku terima. Seperti kisah bahwa sepasang suami istri tidak akan bisa bersama di surga bila tidak ada ‘sesuatu’, yang aku tidak tahu ‘sesuatu’ itu apa, tapi aku sejujurnya tidak begitu peduli sesuatu itu apa atau tidak. Sampai sekarang aku selalu meyakini bahwa abah itu orang baik, mama juga orang baik, sehingga aku yakin, hingga sekarang, kelak beliau berdua akan dipertemukan lagi di syurganya, Insya Allah.
Dan tentu saja, adegan waktu kami berkunjung ke rumah cowok itu, sampai sekarang kalo mengingatnya, masih membuatku ngakak gak karuan. Serius dah. Ini kan pertama kalinya aku masuk ke ‘wilayah cowok’ semacam itu, karenanya rasa gugupnya gak ketulungan. Bukan karena aku terpesona atau apa, tapi saat mendengar istilah itu ‘men area’ saja sudah membuatku berasa kepengen kabur. Wkwk. Niat Bu Siti sebenarnya baik, pengen memperkenalkan kami dengan anak angkat beliau. Tapi kayaknya gak usah terlalu jauh deh. Di mataku, walau wajahnya lumayan, dia udah ada nilai minusnya (perokok soalnya). Well, mungkin kalo di mata dia, penilaian minus tentangku lebih dari satu. Wakakak
Sebenarnya tadi, waktu beliau mengajak kami pergi ke rumah anak angkat beliau, aku sedikit ragu. Tapi ku pikir sekali lagi tak apalah, dengan niat ‘demi mendapatkan bahan cerita di blog’ maka jadilah petualangan itu ku jalani. Haha. Gak ikhlas banget bertamunya. Tak apa lah. Yang penting kan berbagi kisahnya beneran.
Di masa depan, aku tidak tahu apakah akan kembali bisa bertemu dengan beliau atau tidak. Not bad, aku akan senang bila bisa bersua dengan beliau kembali, sambil berbagi kisah, berbagi ilmu, semoga berkah. Aamiiin.
0 Comments