“Seperti yang kau perkirakan, Sari pun ditolaknya juga!”
Nao menoleh ke arah Mirai yang kini tengah berjalan terburu ke arah kursinya. Cewek itu lalu duduk di tempat duduknya, yang berada tepat di depanku. Nao tahu persis apa yang tengah dibicarakan gadis dengan rambut kepang dua ini: Kamiki.
Sebenarnya Mirai sedang tidak bicara dengan Nao, tapi pada Maria, gadis yang duduk di sebelahnya. Meski begitu, Nao yakin Mirai tidak keberatan ia mencuri dengar, karena Nao juga sahabat mereka.
“Nah, sudah ku bilang, kan? Bahkan gadis seanggun Sari juga ditolaknya,” Maria sepertinya sudah tidak terkejut lagi dengan kabar yang barusan di terimanya. Ia menghela nafas panjang.
Nao mendengarkan sambil manggut-manggut. Tapi tunggu. Sepertinya adegan ini sudah tidak asing lagi. Apa lanjutannya juga akan sama?
“Tapi, tapi,” Mirai mendekatkan wajahnya ke arah Maria, lalu menoleh ke arah ke kanan ke kiri. Seakan tak ingin dikuping, seakan apa yang akan dikatakannya sekarang adalah hal penting.
“Ku dengar alasan Kamiki menolak gadis itu berbeda dari biasanya. Kalo sebelum-sebelumnya Kamiki bilang ia sedang tak ingin pacaran, kali ini Kamiki malah memberikan alasan lain yang mengejutkan.”
Suhu tubuh Nao panas dingin.
Mirai menarik nafas dalam-dalam. “Kamiki bilang dia sudah punya pacar!”
“Eh, bohong!”
Nao sedikit tersedak mendengar pernyataan Mirai barusan. Di satu sisi ia sudah hal semacam itu yang akan diucapkannya, tapi di sisi lain ia juga merasa tak siap. Ia menepuk-nepuk dadanya, lalu menyeruput kotak susu stroberi yang barusan dibelinya dari mesin otomatis, tak peduli pada dua sahabatnya yang kini saling menatap dengan mulut menganga.
Maria yang tak percaya pada kabar yang barusan di dengarnya sontak berdiri. Mirai ikut-ikutan berdiri.
“Aku tidak bohong,” Mirai mencoba meyakinkan Maria sebisa mungkin. “Aku juga syok waktu pertama kali mendengar kabar itu, tapi sepertinya itu bukan isapan jempol belaka. Beberapa gadis bahkan langsung menanyakan kebenaran kabar itu pada Kamiki, dan ia tidak membantahnya.”
“Uwah,” Maria memegangi kepalanya yang terasa pusing. “Benar-benar kabar yang mengejutkan!” Maria bicara dengan nada masih tak percaya. Setelah hampir dua tahun tak ada cewek yang berhasil memikat hatinya, apakah sekarang Kamiki telah menemukan seorang tambatan hati yang bisa mempesonanya?
Siapa gerangan orang itu?
“Siapa? Siapa gadis itu?” tanya Maria kembali sambil menggoncang-goncang lengan Mirai dengan perasaan tak sabaran.
“Ssst, itulah masalahnya.”
Mirai meletakkan ujung telunjuknya di atas bibir, lalu kembali melirik ke kanan dan ke kiri dengan gaya seperti detektif. Maria memperhatikan dengan tegang.
“Kamiki tidak memberitahu siapa nama gadis itu.”
Maria menghela nafas kecewa. Nao menghela nafas lega.
“Tapi, Kamiki mengaku bahwa pacarnya ada di kelas 2E, di kelas kita!”
“Eeh?!”
Nao kembali tersedak, lalu menyeruput kotak minumannya. Dua gadis ini, baru kali ini mendengar mereka menggosip membuat Nao sampai setegang ini.
“Serius? Dia ada di kelas ini? Siapa?” Maria kembali mencak-mencak sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas.
Siapa, siapa cewek yang dengan sejuta pesonanya berhasil memikat hati Kamiki?
“Apa kau yakin dia ada di kelas kita? Ku rasa di kelas ini tak ada cewek yang level kecantikan dan keanggunannya bisa menandingi Risa dan Sari. Apa berita yang satu itu bisa dijamin kebenarannya?”
“Itu beneran, sungguh,” Mirai kembali sibuk meyakinkan sahabatnya yang satu itu. Ia ikut mengedarkan pandangannya ke sekitar.
“Tapi memang, seperti yang kau bilang, aku sendiri tidak yakin pacanya ada di kelas ini. Bahkan bila di suruh menilai, ku rasa cewek yang paling cantik di kelas ini adalah aku, dan aku mengaku jujur bahwa aku bukan pacar Kamiki.”
Maria mencibir. “Itu sudah jelas,” ucapnya gemes.
“Jadi siapa?”
Tanpa dikomando, Mirai dan Maria mulai berjalan senatero kelas untuk menginterogasi teman-teman sekelas satu persatu. Mencari tahu yang manakah pacarnya Kamiki. Sebagaimana mereka berdua, teman-teman sekelas yang lain sepertinya juga pada ribut dan sibuk bertanya-tanya siapa pacar Kamiki. Tapi tak ada satu pun yang mengaku. Yah, meski pada dasarnya mereka ingin menjadi pacar Kamiki, tapi mengaku-ngaku jadi pacarnya sepertinya bukan hal yang baik.
Pada akhirnya, hasilnya nihil. Dan tak ada seorang pun yang mencoba menanyakan perihal itu pada Nao.
“Hah...”
Mirai dan Maria menghempaskan pantatnya ke atas tempat duduk dengan perasaan lesu. Setelah puas berdiskusi dengan para cewek di kelas itu, mereka berdua masih belum bisa menyimpulkan siapa pacar Kamiki. Mereka tidak tahu, apakah gadis itu takut untuk mengaku. Karenanya mereka bicara dengan jujur kalau mereka tidak ada niat untuk membuli gadis itu, siapapun dia. Mereka cuma penasaran siapa gadis super beruntung itu.
Namun tetap saja, tak ada yang mengaku, bahkan hingga lonceng pulang berbunyi.
“Mungkin kabar bahwa gadis itu ada di kelas kita adalah bohong,” putus Maria akhirnya.
Mirai mengangguk setuju. Ia sibuk memasukkan buku pelajarannya ke dalam tas sekolah. “Yah, kita sudah menanyai semua cewek di kelas ini, tapi hasilnya nihil. Benar kan, Nao?”
Mirai mengarahkan pandangnnya pada Nao. Nao tak menyahut, ia sibuk sendiri membereskan peralatan tulisnya. Tak mengindahkan perkataan Mirai barusan, lebih tepatnya, tidak memperhatikan.
Namun tiba-tiba Mirai mematung. Ia menyadari satu hal penting. Mereka telah melewatkan satu orang cewek di kelas ini, satu orang yang tak pernah mereka pertimbangkan sebelumnya. Orang yang selama ini selalu diam bila mereka membahas tentang Kamiki. Orang yang selama ini bersikap tak mau tahu tentang Kamiki. Tapi juga orang yang baru saja menembak Kamiki seminggu yang lalu.
Mungkinkah...
“Nao, apa kau pacarnya Kamiki?” tanya Mirai tertahan.
Nao tertegun. Maria ternganga. Hal konyol apa yang barusan sahabatnya itu katakan?
Nao menengadah memandang Mirai dan Maria yang tengah berdiri di sampingnya. Maria sendiri sebenarnya ingin segera membantah pernyataan itu. Namun saat melihat ekspresi serius di wajah Nao, tubuhnya ikut menegang. Dipandangnya wajah Nao tak berkedip, dengan jantung berdebar begitu kencang.
Nao menghela nafas dalam-dalam. Akhirnya ia ikut masuk dalam bagian interogasi pencari pacar Kamiki.
“Kalau ku bilang bahwa ku pacarnya, apa kalian akan percaya?”
“Eh? Eh?!”
Maria memandang Nao tak percaya. Ia ingin mengatakan sesuatu, mencoba memastikan apa yang baru saja dikatakan Nao, namun Mirai segera menahannya.
“Aku percaya,” ucap Mirai, mantap.
Nao terdiam. Dipandanginya wajah Mirai tak berkedip. Mirai balik menatapnya dalam-dalam. Gadis ini, sebulan yang lalu ia sibuk mengaku-ngaku bahwa ia ingin menembak Kamiki, apakah ia tak merasa terkhianati bilang memang sahabatnya sendiri menjadi pacar cowok idamannya?
Nao tersenyum, lalu berdiri.
“Tenang, aku bukan pacarnya,” ucapnya seraya berjalan keluar kelas.
“Uwah!”
Maria yang dari tadi menahan nafas karena tegang merasa sedikit lega. Dielus-elusnya dadanya yang terasa sesak. Nao, sejak kapan gadis itu bisa bercanda sampai di level itu? Tampangnya yang serius benar-benar membuat siapapun akan percaya dengan apa yang akan di katakan, meski ia mengatakan kebohongan terbesar semacam itu.
“Aduh, Nao, jangan berbohong seperti itu lagi! Kau membuat jantungku hampir berhenti berdetak rasanya,” keluh Maria seraya ikut berjalan keluar mengiringi Nao. Nao nyengir.
Mirai sendiri masih berdiri mematung. Tadi ia sempat merasakan dengan jelas keseriusan dalam nada bicara Nao. Apakah benar gadis itu hanya bercanda? Apakah benar ia bukan pacar Kamiki?
Mirai segera berlari keluar kelas, menuruni tangga, menyusul Nao dan Maria yang kini sudah ada di depan loket sepatu masing-masing. Tanpa peringatan ia segera mencengkeram lengan Nao, membuat Nao yang tengah mengambil sepatu di loketnya merasa sedikit terhentak.
Ia menoleh ke belakang, menatap Mirai yang tampak terengah. Ada apa?
“Kau... kau memang pacarnya, kan? Kau pacarnya Kamiki, kan?”
Maria kembali terkaget-kaget melihat sikap serius Mirai yang tampak tak biasa itu. Eh? Apa-apaan ini? Apa Nao memang benar pacar Kamiki? Atau bukan? Yang mana?
Nao tersenyum, lalu melepaskan cengkeraman tangan sahabatnya itu.
“Ku bilang ku bukan pacarnya, dan aku sungguh-sungguh tentang itu,” ucapnya dengan nada lembut. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah menjadi serius. “Setidaknya itulah yang ku pikirkan.”
Mirai menatapnya penuh tanya. “Maksudmu?”
Nao tak segera menjawab. Ia melirik ke arah Maria yang dari tadi menatap ke dua sahabatnya itu dengan tatapan cemas. Kembali diarahkannya pandangannya ke arah Mirai.
“Ayo pergi ke tempat biasa.”
0 Comments