JSON Variables

Header Ads

[Light Novel] Aquatium Chapter 1: Pahala dan Dosa

Seorang nenek berjalan tertatih menyeberangi zebra cross. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat pendek yang ia gunakan sebagai penumpu berat badan yang sudah mulai bungkuk itu, sementara di tangan kanannya ada sebuah tas besar yang terlihat agak berat. Nenek itu berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya agar ia tetap bisa menyeberang jalan dengan sukses saat membawa tas besar tersebut.
Pemandangan ini bukanlah hal yang aneh ditemui di kota-kota besar, bukan? Lalu bagaimana dengan respon para pejalan kaki di sekelilingnya? Apakah mereka akan mengindahkan hal tersebut begitu saja?
Tanpa dikomando, tiga orang berjalan mendekati nenek tersebut. Satu orang lelaki membantunya membawakan tas besar tersebut, sementara dua orang gadis memegangi tubuhnya dan membantunya berjalan menyeberangi zebra cross. Sampai di ujung jalan, nenek itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Tiga orang yang sepertinya bersahabat itu menggelengkan kepala dengan lembut mengatakan bahwa itu bukanlah apa-apa. Satu orang lagi malah dengan ramah menawarkan diri untuk mengantarkan nenek itu sampai ke tujuan, namun nenek itu menolak halus dan melanjutkan perjalanannya menyusuri sebuah gang kecil.
Sepeninggal nenek itu, lelaki yang tadi menolong nenek itu menggambar sebuah garis vertikal pendek di depannya. Seketika muncul sebuah layar hologram berbentuk persegi panjang. Di sana ia dapati bahwa di atas batangan hijau di layar tersebut ada sebuah garis kuning tipis, sebagai penanda bahwa poin pahalanya telah bertambah 5 poin. Lelaki itu tersenyum senang, begitu pula dua gadis yang ada disebelahnya. Segera setelah menutup layar hologram tersebut dengan mengklik sebuah tombol kecil, ia melakukan hi-five dengan kedua gadis tersebut dan mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan mereka ke tempat tujuan.
Artz yang kebetulan berjalan melintasi mereka bertiga sekilas menatap wajah lelaki dan tiga orang tersebut. Sepertinya mereka adalah mahasiswa yang berusia dua-tiga tahun lebih tua darinya. Tiga orang tersebut berlalu begitu saja di sebelah Artz, namun ia tak berkomentar apa-apa. Hal yang ia saksikan barusan bukanlah sesuatu yang baru. Ia yakin, bahkan bila ketiga orang itu tidak membantu nenek tersebut, pasti akan ada orang lain yang berbaik hati membantu beliau. Ya, tentu saja, semuanya demi mendapatkan sebuah ganjaran bernama pahala.
Ya, dalam hidup ini, saat seseorang berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya, saat ia berbuat keburukan, maka ia akan mendapatkan dosa. Itu bukanlah hal yang aneh lagi. Namun di dunia yang ia huni sekarang, level pahala dan dosa seseorang bisa diketahui dengan mudah dengan melihat layar Aquatium yang dimiliki setiap orang. Aquatium adalah sebuah program hasil kerjasama para ilmuwan di seluruh dunia untuk memastikan dunia bisa menjadi tempat damai dan sejahtera. Ya, setelah perang dunia ketiga berakhir delapan belas tahun lalu dan Amerika menderita kekalahan besar, akhirnya diciptakanlah program tersebut untuk mencegah kejahatan kembali merajalela. Program yang ditanamkan di otak manusia tersebut bisa memonitor tentang apa-apa saja yang dilakukan setiap orang, lalu memberi penilaian tentang berapa poin pahala atau dosa yang dimiliki seseorang.
Banyaknya poin pahala dan dosa yang dimiliki berpengaruh besar dalam kehidupan ini. Bila seseorang memiliki poin pahala yang besar, maka bisa dipastikan ia akan memiliki kepercayaan yang besar dari orag-orang di sekelilingnya. Jabatan yang tinggi juga bukanlah hal mustahil, sehingga kehidupan yang sejahtera sudah merupakan suatu jaminan bagi orang-orang dengan jumlah pahala besar. Sebaliknya, bila seseorang memiliki level dosa yang tinggi, maka bisa dipastikan ia adalah orang yang suka berbuat seenaknya dan tak bisa dipercaya. Selain itu, bila level dosa yang dimiliki seseorang sudah memiliki level maksimal sepuluh ribu poin, maka orang itu akan mengalami kematian mendadak seakan-akan ia mengalami serangan jantung. Kedengarannya itu hal yang mengerikan, kan? Tapi tentu saja, semua itu diyakini harus dilakukan demi menciptakan dunia lebih baik. Hal-hal yang tak berguna dalam dunia ini lebih baik disingkirkan saja, dan biarkan orang-orang baik yang tersisa mengisi dunia. Ya, setidaknya begitulah apa yang didapatkan Artz dari pelajaran Sejarah yang dipelajarinya disekolah.
Artz menoleh ke sebelah kiri, saat ia melintasi sebuah gang dimana sang nenek yang tadi ditolong tiga orang itu berjalan pergi. Melihat perawakan nenek tersebut, sebenarnya memang sungguh mengkhawatirkan bila beliau dibiarkan berjalan sendiri. Arz mulai bertanya-tanya apakah ada keluarga yang merawat beliau. Ah, ia harap begitu. Tanpa sadar Artz berdoa tulus semoga sang nenek bisa sampai selamat sampai tujuan dan ada keluarga yang bisa mengurusnya di rumah.
“Artz, kau dengar aku?”
Artz tersentak. Dialihkannya pandangannya pada cowok bermata hijau yang sedari tadi berjalan di sebelahnya. Dustin, cowok itu, adalah teman satu sekolahnya yang kebetulan juga merupakan tetangganya satu apartemen. Sepertinya Dustin sedari tadi tengah mengajaknya bicara namun Artz tidak memperhatikan sama sekali.
“Kau mengatakan sesuatu?” tanya Artz sambil memaksakan senyum, mencoba membuat sahabatnya itu tidak tersinggung karena tidak diperhatikan.
Dustin manyum. Ia sudah maklum dengan sikap Artz yang suka mengkhayal dan sibuk dengan dunianya sendiri seperti yang terjadi barusan. Ia tak terkejut lagi.
“Aku cuma bertanya apa kau sudah belajar untuk persiapan ujian Matematika hari ini,” ucap Dustin akhirnya. Mereka berdua sebenarnya sedang tengah dalam perjalan menuju sekolah mereka, Hartlyn High School, tempat mereka berdua dan ribuan murid lainnya menuntut ilmu. Dustin dan Artz sendiri sekarang tengah duduk di kelas dua SMA, dan hari ini adalah hari ketiga mereka dalam menjalani ujian tengah semester.
“Ah,” Artz berguman kecil, lalu mengangguk. “Aku belajar, setidaknya sebisa kemampuanku,” jawabnya jujur.
Dustin manggut-manggut. Dalam hati ia berguman, kalimat ‘sebisa kemampuanku’ itu memiliki penafsiran yang berbeda bagi setiap orang. Sebisa kemampuan Artz pasti jauh berbeda dengan sebisa kemampuannya Dustin. Bagaimana tidak, Artz adalah bintang sekolah yang terkenal dan Dustin yakin memampuan yang temannya itu miliki jauh melampauinya.
“Kenapa, kau menemui kesulitan dalam materi pelajaran yang akan diujikan?” Artz balik bertanya sata dilihatnya wajah sahabatnya yang tampak sibuk berpikir itu.
Dustin menghela nafas pajang, lalu mengangguk. “Materi mengenai integral trigonometri benar-benar membuatku pusing. Aku tidak yakin bisa menjawab bila soal itu keluar di ujian nanti,” akunya berkeluh kesah.
Artz menepuk punggung sahabatnya, mencoba memberi semangat. “Hei, jangan pesimis begitu. Coba saja sebisamu dulu, pasti akan diberi kemudahan,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
“Yah, ku harap begitu,” Dustin menjawab lesu sambil terus melanjutkan langkahnya.
Sekarang mereka berdua sudah memasuki pintu gerbang sekolah. Setelah sibuk menjawab salam yang diberikan teman-temannya, Artz dan Dustin akhirnya bisa sukses mendaratkan pantat mereka di tempat duduk masing-masing. Lonceng masuk akan berbunyi sepuluh menit lagi. Sebelum ujian dimulai, Artz menyempatkan diri untuk membaca-baca buku pelajaran. Sebenarnya bukan cuma ia seorang. Hampir teman-teman sekelasnya yang lain juga menyibukkan diri membuka-buka buku pelajaran. Bahkan dalam detik-detik terakhir mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada dan menggunakannya sebaik mungkin untuk belajar. Ya, mereka tidak ingin gagal di ujian kali ini. Setidaknya, karena saat ujian nanti mereka benar-benar hanya bisa bergantung pada kemampuan masing-masing.
Lonceng masuk berbunyi. Seorang guru masuk kelas dengan membawa amplop berisi kertas soal dan lembar jawab ujian. Dengan lesu para murid memasukkan buku pelajaran mereka ke dalam tas masing-masing. Setelah meja para muridnya terlihat rapi, Pak Guru Hansen membagikan kertas soal dan lembar jawaban kepada murid.
“Pastikan kalian menjawab soal yang ada dengan sungguh-sungguh. Dan ingat, jangan ada niatan sedikit pun untuk menyontek atau membuka buku. Mengerti?”
Para murid mengangguk mengerti. Pak Hansen melihat jam tangannya sejenak lalu memberi komando, “Oke, ujian dimulai!”
Artz, Dustin, dan teman-teman sekelasnya yang lain mulai membuka kertas soal ujian dan membaca soal yang ada dengan seksama. Ekspresi wajah para murid itu mulai berubah-ubah setiap membaca soal yang tercantum disana. Ada yang keningnya berkerut, ada yang menggaruk-garuk kepala, ada yang tersenyum kecut, ada pula yang tenang-tenang saja karena merasa bisa menjawab soal ujian yang diberikan.
Pak Hansen berjalan mengitari bangku para murid sejenak. Para murid tampak tak terpengaruh dengan kehadiran beliau, dan tetap khusyu menjawab soal dihadapan mereka. Setelah memastikan para murid yang ada di kelas itu bersungguh-sungguh dalam ujian kali ini, tanpa berpikir panjang Pak Hansen berjalan keluar pintu, meninggalkan para murid yang terlihat sibuk dengan kerjaan masing-masing.
Sepeninggal Pak Hansen, para murid masih tak bergerak dari tempat duduknya. Hening, fokus, dengan harapan bisa lulus dalam ujian kali ini dan mendapatkan nilai terbaik.
Ya, tak ada yang mencontek, tak ada yang membuka buku.
Karena mereka tak ingin dosa mereka bertambah.

Post a Comment

0 Comments