JSON Variables

Header Ads

Menunggu Itu Menyebalkan: Balada Seorang Angkoter

Selamat pagi pemirsa. Pagi-pagi begini ane mau protes dulu. Kejadian ini sebenarnya ku alami kemarin dan seharusnya ku tulis kemarin juga. Berhubung baru sekarang ini mood nya, jadi ku tulis sekarang saja lah. Daripada besok. ^o^

Ceritanya kemarin kan aku mau ngadain riset lagi neh di MANTAP. Aku bakal masuk kelas jam 11 pagi, sedangkan hari itu aku masih berada di Banjar. Jadilah ku putuskan pagi-pagi buta udah bangun. Mandi, makan, siap-siap, hingga akhirnya aku sudah dalam mode siap berangkat pada jam tujuh lewat. Perkiraan bila ku berangkat sekarang, setidaknya jam setengah sepuluh sudah sampai rumah. Jadi aku bisa santai sejenak sebelum berangkat mengadakan penelitian. ‘Rencananya.’

Berhubung aku memang seorang angkoter, jadi pertama-tama aku naik angkot dari depan kampus ke Pal 6. Oke, tak ada masalah. Sesampainya di Pal 6, masalah akhirnya dimulai. Angkot yang kena giliran berangkat ternyata belum ada isinya sama sekali. Cuma ada aku sama seorang ibu yang kebetulan satu taksi denganku. Tau sendiri kan, kalo mau naik angkot di Pal 6 ini biasanya sang supir pasti mesti nunggu sampai angkotnya full 14 penumpang dulu. Wew. Aku naik dengan tampang pasrah. Berharap moga-moga aja bakal banyak penumpang yang berdatangan dalam waktu yang tidak begitu lama.

Jarum jam terus berdetak. Aku yang berada di dalam angkot mulai gelisah meski aku berusaha mendengarkan musik untuk menenangkan diri. Penumpang nya memang bertambah, cuma sedikit demi sedikit. Sudah jam delapan lewat, baru ada empat orang yang ada di dalam angkot. Untuk mengurangi rasa kesal ku cuba membuka notebook dan mempersiapkan bahan untuk blog BOJM. Koneksi yang lelet di tempat itu bukannya membuatku tambah tenang tapi makin greget aja. Seorang ibu yang pengen ke pengajian tampak ikut-ikutan gelisah. Sepertinya ini kali pertama beliau naik angkot sehingga beliau tidak menyangka kalo waktu menunggu bisa selama ini. Saat jam menunjukkan pukul setengah sembilan, ibu itu hilang kesabarannya. Beliau mengajak seorang penumpang untuk turun. Ibu yang diajak setuju, dan akhirnya mereka berdua turun dari angkot dengan wajah penuh kekecewaan.

Supir angkot sendiri tidak protes. Shimatta, ane pikir. Aku juga jadi kepengen turun dibuatnya. Sepuluh menit kemudian, aku menutup notebook ku. Ku ucapkan maaf pada ibu yang duduk di sebelah dan bilang bahwa ku juga turun karena ada janji. Jadilah sekitar jam sembilan kurang ku pun ikut keluar dari angkot. Rasanya sedikit kesal, tapi juga lega karena bisa keluar dari sebuah kegiatan yang paling membuatku beringas: menunggu.

Aku segera berjalan menyusuri jalan raya. Ada banyak angkot Martapura yang ku temui di sepanjang jalan. Mereka menanyakanku mau kemana, ku jawab ke MTP. Mereka bilang oke, ayo masuk. Ku tanya, apa masih lama berangkatnya. Mereka bilang, tunggu sebentar lagi. Aku tersenyum sinis. Sori, ane kagak percaya ama janji sang tukang angkot ‘anymore’. Aku terus berjalan dan menjawab seadanya saat ditawari untuk naik angkot mereka. Ku bilang aja aku tengah terburu-buru dan pengen cari angkot yang langsung berangkat. Ku acuhkan setiap rayuan supir yang menyuruhku naik. Aku terus berjalan sampai tiba di tempat yang agak jauh dari tempat angkot biasa parkir. Tak lama kemudian ku dapati ada sebuah angkot jurusan Kandangan yang lewat. Tanpa ragu ku lambaikan tangan. Angkot itu berhenti. Ku tanya aku mau ikut tapi cuma sampai Astambul saja. Supirnya bilang gak masalah. Aku lega. Aku pun segera masuk ke dalam angkot yang kebetulan cuma berisi satu penumpang itu. Angkot pun berjalan, walau pelan tapi pasti. Jam sepuluh lewat aku sampai di rumah dengan selamat. Hufh, satu lagi hari yang penuh cobaan dalam hidup ini.

Well, aku seorang angkoter. Aku biasanya bolak balik BJM-MTP sekitar sebulan sekali. Berhubung kali ini aku mengadakan riset, jadilah aku menggunakan jasa angkot lebih sering dari biasanya. Jujur saja, sebenarnya tiap kali aku naik angkot itu hariku selalu jadi tak karuan. Misalnya, kalo berangkat dari BJM ke MTP, yang ku cemaskan adalah berapa lama aku harus menunggu sampai angkotnya penuh, kayak kasus di atas. Kalo dari MTP ke AST, aku juga cemas berapa lama ku harus menunggu sampai ada angkot yang lewat. Nah, kalo dari AST ke BJM, biasanya rasa kecemasanku agak kurang karena ku menunggu angkot langsung dari depan rumahku. Tapi kemudian, kalo dari BJM ke Kost, aku suka bingung mesti naik angkot lagi ato ojek. Kalo naik angkot, biayanya murah, tapi nyeberang jalan raya itu benar-benar mempertaruhkan nyawa rasanya. Sedangkan bila naik ojek, perjalanan aman sampai rumah tapi ongkosnya lebih mahal. Ane kan orangnya pelit (haha), tapi untuk cari aman biasanya sih ane naik ojek aja. Sekalian buat beramal sama tukang ojek lah.

Bicara masalah angkot, aku benar-benar tak habis pikir tentang sistem perangkotan di negeri ini. Mungkin karena jasa angkutan kota itu masih ditangani oleh swasta, bukan pemerintah, maka terkadang ya suka-suka sang supir bikin aturan, tanpa memperhatikan kenyamanan para penumpang. Mereka selalu beralasan, “Penumpang sudah mulai dikit, harga BBM mahal, ya ngerti dong kalo kami bikin peraturan begini begitu. Kami kan juga punya anak istri yang dikasih makan.” Hello, tapi saat kalian buat peraturan, apa kalian pernah memikirkan perasaan para penumpang? Apa kalian pernah berpikir, apakah kalian telah memberikan pelayanan yang terbaik pada para penumpang? Jangan tanya masalah fasilitas atau kenyamanan saat duduk di dalam angkot, kami sudah amat sangat ‘memakluminya.’ Setidaknya bisakah kalian tidak membebani kami dengan menunggu penumpang sampai penuh baru angkotnya berangkat? Time is money, gan. Setiap orang juga punya kesibukan masing-masing, gak semua bisa duduk santai di angkot yang panas nunggu sampai penumpang benar-benar penuh. Sigh, kalo ane mau protes neh sebenarnya ada banyak lagi uneg-uneg yang lain. Tapi ane kagak jago debat jadi ngomong ala kadarnya saja.

Saat Pak Dodo menaikkan harga BBM setengah tahun yang lalu, para supir taksi panik dan langsung menaikkan tarif. Kami para penumpang cuma bisa jadi yes-man doang. Tapi kemudian saat Pak Dodo menurunkan harga BBM hingga pada akhirnya harganya cuma naik seratus rupiah dari harga awal, para supir taksi langsung adem ayem dan kagak ada rapat lanjutan tentang acara menurunkan tarif angkot. Nyaha. Kalo dipikir lebih lanjut, ane sebenarnya jadi lebih kesel ama Pak Dodo ketimbang ama supir angkot. Kalau tahu cuma bakal naik seratus rupiah, mending dari awal naikin segitu, gak usah ‘meunja-unjai’ (mempermainkan) rakyat dengan menaik turunkan harga minyak semau beliau begitu. Ah, tapi sudah lah. Yang lalu biarlah berlalu. Ane kagak mau komentar banyak tentang kebijakan Pak Dodo. >_<

Yang mau ane soroti sekarang adalah sistem perangkotan di Kalimantan Selatan en di Banjarmasin khususnya. Aku akan sangat berterima kasih bila ada seorang pejabat pemerintah kota terutama di bidang perhubungan yang membaca tulisan ini. Mengenai peraturan yang ‘mengharuskan’ angkot baru berangkat bila penumpang telah penuh, aku pikir itu peraturan yang benar-benar merugikan penumpang, terutama penumpang pertama yang masuk ke angkot itu. Kalo bisa sebaiknya peraturan itu diubah. Angkot di Pal 6 akan berangkat apabila (1) penumpang pertama yang masuk ke angkot telah menunggu selama SETENGAH JAM, (2) angkot telah penuh dalam waktu kurang dari setengah jam. Aku pikir ini peraturan yang cukup adil. Peraturan ini tidak hanya menguntungkan penumpang, tapi juga menguntungkan para supir. Percayalah. Kenapa? Begini analisanya. Di Pal 6 itu jumlah angkotnya bejibun. Aku pernah iseng tanya, apakah setiap angkot yang ada disana dapet giliran tiap hari untuk narik dengan sistem penumpang penuh. Ternyata jawabannya mengejutkan. Supir yang jadi sumberku menjawab kalo mereka baru dapet giliran untuk ngantri sistem full penumpang itu setiap TIGA HARI SEKALI. Ckck, bayangkan! Kalo dilakukan sistem setengah jam sekali itu, setidaknya akan ada 48 angkot yang bisa berangkat bila waktu kerja dimulai dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Itu sudah cukup banyak dan ku rasa setiap supir bakal dapet giliran anik tiap hari. Sedangkan bila menggunakan sistem sampai penumpang penuh, sang supir akan menunggu dalam ketidakpastian, pantes saja antriannya sampai tiga hari kayak gitu. Benar-benar deh, pantes aja pendapatan supir jadi menurun tiap tahunnya.

Well, mungkin sebagian berpendapat, kalo mau cepet, naik motor aja. Itu jelas solusi yang paling gampang. Tapi harus ku bilang bahwa beli motor itu gak semudah ngomong doang. Selain itu aku masih ingin mencoba sedikit berpikiran baik pada para supir angkot. Aku masih ingin menggunakan jasa mereka sampai suatu harin nanti aku bisa melihat sistem perangkotan Indonesia yang lebih baik. Kapankah itu bisa terwujud? Saa, ne. Kotae o matteimasu. Zutto.

Post a Comment

0 Comments