JSON Variables

Header Ads

Astambul Kota Padam

Aku lahir di sebuah desa asri bernama Astambul, Astambul Seberang tepatnya. Astambul sendiri sebenarnya adalah sebuah nama kecamatan, namun aku lebih suka menyebut desaku sebagai Astambul saja. Kata Ast pada namaku Uswatun Hasanah Ast sebenarnya dinisbahkan ke nama desaku ini. Kalau kebanyakan orang Banjar menisbahkan nama mereka dengan kata Al-Banjari sebagaimana nama guru besar KH. Muhammad Arsyad Al-Banjari, maka aku memilih Ast sebagai nama belakangku. Ehehe.. Lucunya beberapa orang yang tidak tahu apa kepanjangan Ast itu malah berasumsi bahwa Ast adalah aishiteru (Ai Shi Teru). Wkwk. Mentang-mentang ane penggemar Jejepangan, gak sampe segitu juga kale aku bikin nama ada unsur Jejepangannya.

Kakakku juga menggunakan tambahan kata Ast dalam akun facebook dan media sosial lainnya, jadi bisa dibilang kata Ast merupakan ciri khas kami bertiga. Namaku sendiri kan ku akui cukup pasaran. Kalo ngetik kata Uswatun Hasanah doang di google, mungkin pencariannya belum sampai ke arahku. Tapi kalo yang di tulis Uswatun Hasanah Ast, dijamin blog ku ada di urutan paling atas. Gkgk

Nah, meski sebuah desa, syukurnya rumahku sendiri berada tepat di pinggir jalan raya. Selama ini, kalo ku bilang kalo ku tinggal di Astambul, beberapa orang berasumsi bahwa rumahku bakal masuk jauh ke pelosok, tapi ku bilang saja dengan santai kalo rumahku tepat di pinggir jalan jadi pasti gak bakal repot mencarinya. Pak Pos sendiri sudah hafal banget sama rumah kami karena cukup sering datang mengantarkan surat. Bahkan saat nomor rumah kami diganti, tanpa ragu Pak Pos mengantarnya ke rumah kami meski alamat yang tercantum di surat itu masih alamat lama. Alasannya simpel, beliau ingat nama kami dan perasaan yang paling sering berurusan dengan surat menyurat di daerah ini ya keluarga kami. Aih, jadi kanget ama Pak Pos. ^o^

Yang lucu itu adalah pihak TIKI. Aku jarang berurusan dengan TIKI, paling sekali dua. Karenanya bila mereka mau nganter paket ke rumah, mereka bela-belain nelpon dulu buat nanya alamat rumah masuk ke mana en kemana. Ku bilang aja di pinggir jalan. Ada kejadian tak terlupakan tentang TIKI yang pernah ku alami. Suatu hari sang petugas TIKI ingin mengantarkan paket kepadaku, jadilah beliau menelpon ponselku. Akhirnya nemu juga alamatnya dan sampailah paketnya ke tanganku dengan selamat. Beberapa hari kemudian ada lagi petugas TIKI yang nelpon dan menanyakan hal yang sama, di mana alamat rumahku karena ingin mengantarkan paket. Setelah ku temui, eh ternyata tu adalah orang yang sama dengan yang mengantarkan paket padaku beberapa hari yang lalu. Hag hag. Pamannnya sebangsa ane, pelupa tingkat akut. ^o^

Bicara masalah pengalaman masa kecilku di desa ini, aku masih ingat bahwa dulu aku terbiasa main kelereng, gudabak, dan rumah-rumahan di samping rumah. Sempat main kemah-kemahan juga dan kemahnya ku bangun sendiri serta ku tempati sendiri. Haha, rajin banget ane dah sebagai anak SD kala itu. Untuk masalah banjir, sejak dulu juga sudah banjir. Waktu kecil sih masih seneng main air, kalo sekarang, ugh, jangan ditanya dah. ^^

Salah satu kenangan paling indah yang ku ingat tentang masa kecil adalah kunang-kunang. Dulu, di depan rumahku ada pohon bonsai. Dan biasanya, ada banyak kunang-kunang yang bersembunyi disana. Bila malam tiba, aku suka main ke pelataran cuma untuk melihat kunang-kunang yang beterbangan dengan tubuh menyala terang. Ah, indah sekali. Sayangnya sekarang aku tak bisa menemukan kunang-kunang di pohon bonsai itu lagi. Berdasarkan apa yang ku baca, keberadaan kunang-kunang adalah bukti bahwa suatu lingkungan ekosistem masih bersih dan belum tercemar. Sekarang kunang-kunang telah pergi, mungkin itu artinya lingkungan di sekitarku sudah semakin tertutup debu polusi. Mau bagaimana lagi, rumahku kan tepat di pinggir jalan. Jadilah debu jalanan setiap hari selalu bertiup di lingkungan. Kalo dipikir, ada ruginya juga punya rumah di tepi jalan. Hiks. Pengen ngeliat kunang-kunang lagi. >_<

Meski begitu, ada satu hal yang tak berubah tentang Astambul. Dari dulu hingga sekarang tetap sama, yaitu di Astambul sering banget terjadi pemadaman listrik. Dalam sehari pasti selalu ada padam, bahkan berkali-kali juga. Pokoknya bolak-balik kayak gitu dah. Aku yang sekarang tinggal di Banjarmasin dan dimanjakan dengan fasilitas listrik yang memadai, agak terganggu juga waktu pulang kampung dan dihadapkan dengan masalah pemadaman semacam itu. Iseng ku tanya ayah, apa beliau tidak merasa jengkel. Ayahku menjawab, meski jengkel tapi penduduk sudah terbiasa, mau bagaimana lagi. Hm, benar juga. Tapi tetap saja kadang aku merasa kesal. Saat listrik dimatikan tak ada angin tak ada hujan, aku mikir apa sebenarnya yang ada di pikiran petugas PLN. Iseng doang kah? Ahaha. Tapi sudahlah, mungkin memang kemampuan listrik di desa kami masih belum memadai untuk fasilitas listrik 24 jam. Setidaknya bisa menikmati listrik saja sudah merupakan suatu kenikmatan yang harus disyukuri, kan?

Tahun ini banjir kembali menimpa kampung kami. Bahkan bisa dibilang cukup parah, sampai masuk ke rumahku juga. Selama ini, banjir paling parah yang pernah kami alami adalah 9 tahun yang lalu, tahun 2006. Kala itu airnya masuk ke rumahku sampai selutut dan aku yakin masih banyak penduduk yang rumahnya terendam lebih parah selain kami. Jadi bisa dibilang banjir tahun ini merupakan banjir terparah kedua setelah tahun 2006 kemarin. Aku harap tak ada lagi banjir parah semacam ini. Hah~ Aku harap Presiden kita Pak Dodo mau berbuat untuk desa kecil ini. Gak mau berharap lebih juga sih. Fufu

Sekarang aku pulang ke kampung halaman sejenak, untuk beristirahat dan melakukan beberapa hal penting lainnya. Jujur, tidur di kampung ini benar-benar membuat nyaman. Meski udaranya dingin dan suara mobil yang lalu lalang tanpa henti seakan menjadi kendala penting, aku tak begitu mempedulikannya. Aku terbiasa akan itu semua, dan aku menikmatinya.

Sou. Itsumo kokoro ni aru. Furusato. :)

Post a Comment

0 Comments