Meminta tolong itu sesuatu yang sulit. Ya, anda tidak salah baca. Bagi sebagian besar orang, yang sulit itu adalah memberi bantuan pada seseorang. Tapi bagiku, justru perbuatan yang paling sulit itu adalah meminta bantuah. Ah, it’s complicated.
Aku orang yang terbiasa sendiri dan membiasakan diri dengan kesendirian. Aku suka keluyuran sendiri, melakukan ini itu sendiri, tanpa bantuan atau membuat orang lain terlibat di dalamnya. Apakah itu menunjukkan bahwa aku seorang hebat yang bisa segalanya? Tidak. Sebaliknya, aku adalah orang penakut. Aku tidak meminta tolong bukan karena tidak bisa, tapi karena takut. Takut ditolak, takut merepotkan. Ya, aku orang yang pengecut.
Aku tidak tahu sejak kapan sikap seperti ini tumbuh. Yang jelas, sejak dulu tertanam di dalam pikiranku agar selalu berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain. Saat ku ingin meminta pertolongan, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun, jantungku akan berdetak kencang. Otakku sudah mulai memikirkan kalimat apa yang harus ku lakukan. Bagaimana memulainya, bagaimana responku bila diterima, bila ditolak, dan sebagainya. Sungguh berlebihan memang. Aku sendiri heran, kenapa aku jadi separno itu?
Untuk lingkup keluarga, tentu saja aku tidak canggung lagi untuk meminta tolong. Itu pun, ku usahakan sesopan dan sebaik mungkin. Saat ingin minta isikan pulsa, misalnya. Kalau tidak mendesak sekali, kalau masih bisa beli sendiri, aku tidak akan minta isikan pada kakakku yang jualan pulsa. Sebenarnya kakakku sendiri (tampak) tidak keberatan, tapi tetap saja aku tidak enak. Bahkan saat lagi saking tidak enaknya, aku pergi ke warung samping rumah buat beli pulsa. Terus kakakku tanya, habis beli apa. Ku jawab jujur, habis beli pulsa. Beliau bengong. Haha.
Itu untuk kakakku yang kedua, untuk kakakku yang pertama, aku lebih canggung lagi. Aku ingat, waktu masih sekolah dulu, aku berniat untuk minjam selembar kerudung pada beliau. Dan demi melakukan itu, aku tegangnya luar biasa sampai mesti menyiapkan gambaran kalimat-kalimat di dalam otak selamat lima belas menit lebih. Ah, itu berlebihan. Aku tahu. Tapi apa yang bisa ku lakukan?
Aku iri, saat melihat temanku yang dengan entengnya bisa berteriak minta tolong pada temannya, meski tidak dengan nada yang sopan-sopan amat. Temannya yang dimintai tolong mungkin bersungut, tapi pada akhirnya mengiyakan, dan temanku yang meminta tolong itu tak memasukkannya ke dalam hati. Satu kasus, ingin minta antarkan ke satu tempat misalnya dengan motor, temanku enteng saja meminta temannya mengantarkannya. Kalo aku? Masya Allah, kecuali keadaan sangat mendesak, mungkin baru ku bicara.
Ada satu kasus lucu lagi, yang mungkin kurang berhubungan dengan rasa takutku untuk menolong, tapi lebih berhubungan dengan sikap penyendiriku yang kuat. Suatu hari, aku ingin pergi ke pasar yang agak jauh dari kost. Ku bilanglah ke teman satu kost, “Aku mau ke pasar. Ada yang mau nitip?” Temanku terdiam sejenak. Ia tersenyum, menggeleng lalu berkata. “Uswah, kau aneh. Di saat seperti ini, biasanya kebanyakan orang akan bilang ‘Aku mau ke pasar. Mau ikut?’ tapi kau malah tanya apa ada yang dititipkan.”
Aku selalu tertawa kalo ingat kata-katanya. Ya, logikanya memang begitu. Kebanyakan mahasiswi di kampusku, kalo jalan ke warung saja misalnya, pasti ngajak teman. Bahkan teman samping kostku yang sekarang juga, dia bilang ‘tidak berani’ sendirian pergi ke pasar yang jelas-jelas ada di depan kostku. Ia baru akan pergi bila aku menemani. Kalau aku? Santai aja selosoran kesana kemari sendirian. Justru itu yang ku suka. Kalau ku pergi sendiri, ku tak punya beban. Mau cepat, mau lambat, aku yang jadi bosnya.
Waduh, kenapa jadi malah ngebahas loneliness?
Oke, balik ke topik. Masalah takut meminta tolong ini ku tuliskan karena rasa takut itu kembali muncul berkaitan dengan kegiatan PPL 2 yang tengah ku lakukan sekarang. Sekolah tempat kami mengadakan PPL sekarang berada dengan jarak tidak begitu jauh. Lima menit naik motor, lima belas menit naik sepeda, setengah jam jalan kaki (kagak tau berapa kilo). Yang jadi masalah, aku tak punya kendaraan. Dan aku tidak yakin akan sanggup jalan kaki seperti itu tiap harinya. Di satu sisi, aku bersyukur lokasi PPL ku dekat, tapi itu belum menyelesaikan permasalahan. Keluargaku, tampaknya tak begitu peduli tentang bagaimana aku berangkat ke sana, kecuali saat ku menyinggung mereka kala itu dengan mengatakan mereka tidak peduli sama sekali kelihatannya. Ahaha. Mungkin mereka terlalu percaya bahwa aku bisa menyelesaikan masalah yang ku hadapi tanpa bantuan siapapun.
It hurts, you know, saat orang lain berpikir kau bisa melakukan segalanya sendirian.
Dengan jantung berdetak kencang, dengan segenap keberanian yang ku kumpulkan, ku tanya pada teman satu PPL ku, apa aku bisa menumpang mereka untuk berangkat ke tempat PPL. Alhamdulillah ada satu teman yang bersedia. Tapi dia juga tak bisa janji setiap hari, karena terkadang motornya juga dipakai. Itu tidak masalah. Sebagai pelengkap, ku tanya lagi ke ibu kost, bolehkan aku menyewa sepeda anak beliau untuk pergi PPL. Aku bertanya takut setengah mati, meski aku tahu dengan jelas respon yang akan beliau berikan. Beliau menggeleng tidak setuju, dan bilang sepedanya beliau pinjamkan saja, tak usah disewa. Beliau juga bilang aku boleh memakai sepeda sesukaku, kapanku ku mau. Ah, ibu kost yang baik sekali.
Aku sadar. Aku dikelilingi orang-orang baik. Tapi aku selalu ragu. Aku tak tahu apa yang ada di hati mereka. Jangan-jangan di dalam hati mereka merasa keberatan, merasa direpotkan, dan merasa permintaanku adalah sebuah beban. Aku selalu berprasangka buruk seperti itu. Karenanya, suatu hari, ketika teman PPL ku mengatakan ia tak bisa lagi sering-sering menjemputku karena ia juga diantar, aku berhenti berharap. Aku tak lagi mengirimnya sms memohon-mohon untuk ikut nebeng ke tempat PPL. Aku memilih untuk mengambil alternatif kedua: pinjam sepeda ibu kost.
Ah, aku tahu aku tak boleh hidup dengan rasa takut seperti ini selamanya. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Aku tahu persis itu. Tapi kenapa, yang namanya meminta tolong itu kegiatan yang susah?
Terkadang ku berpikir dengan menggambarkan kondisi dan keadaan yang terbalik. Bila seseorang meminta tolong padaku, apakah aku merasa itu sebuah beban? Jujur, jawabannya adalah tidak. Justru aku merasa bahagia, merasa keberadaanku bisa berguna bagi orang lain. Tapi itu aku, manusia polos yang jarang dimintai tolong oleh orang lain. Bagaimana dengan orang lain? Aku tidak tahu. Sungguh, aku tidak tahu.
Ku rasa, sikap seperti inilah yang membuatku merasa tidak ingin kerja kantoran. Kalau bisa, aku ingin kerja di rumah saja, bebas dari interaksi dengan orang lain. Tapi untuk sekarang, rasanya itu akan sedikit sulit. Masa depan, aku tidak tahu. Akan kerja apa aku kelak, aku tidak tahu.
Kapankah sikap ini akan hilang, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
1 Comments
Sama banget kak
ReplyDelete